Ume Kbubu: Rumah yang Bernapas Seperti Manusia
Bayangkan sebuah rumah bundar beratap alang-alang, berdiri di lereng-lereng perbukitan Mollo. Tidak ada jendela, hanya satu pintu kecil. Asap mengepul dari lubang kecil di atap, mengepul pelan seakan menghembuskan napas. Di dalamnya, hangat. Keringat dan bau kayu bakar bercampur dalam satu atmosfer kehidupan.
Itulah ume kbubu---rumah tradisional masyarakat Atoni Pah Meto. Tapi kalau Anda pikir rumah ini hanya tempat tidur dan masak, Anda keliru besar.
Bagi masyarakat Atoni, ume kbubu bukan benda mati. Ia adalah bagian dari tubuh. Atau lebih tepatnya: ia adalah tubuh kedua.
Tubuh Kedua yang Menampung Eksistensi
Di luar sana, angin menggigit. Udara malam pegunungan bisa turun ke 12 derajat. Tapi di dalam ume kbubu, suhu bisa mencapai 37 derajat. Ini bukan sekadar fakta arsitektur. Ini adalah tindakan menyelamatkan tubuh dari pembekuan, sekaligus memelihara kehangatan jiwa.
Di sekitar tungku api di tengah rumah, keluarga duduk melingkar. Bukan sekadar menghangatkan tubuh, tapi menyatukan cerita, doa, dan duka. Tak ada sekat, tak ada kamar pribadi. Tubuh-tubuh saling bersandar. Inilah bentuk eksistensi relasional, di mana seseorang hanya bisa menjadi "aku" karena ada "kita".
Ume kbubu adalah metafora konkret dari relasi itu. Sebagaimana tubuh manusia menyimpan jiwa, ume kbubu menyimpan roh komunal.
Tungku Sebagai Jantung
Tepat di tengah rumah, berdiri tungku dengan tiga batu penyangga. Di sanalah api dinyalakan setiap malam. Para tetua menyebutnya "nifo on ate", jantung rumah.
Di atas api, tergantung para-para tempat menyimpan jagung dan daging asap. Asap bukan cuma pengawet, ia adalah nafas rumah, yang mengusir roh jahat dan mengundang leluhur pulang.