Di tengah gejolak politik pasca-Pemilu 2024, siapa sangka bahwa sepiring makan siang bergizi justru menjadi amunisi paling dahsyat Presiden Prabowo dalam mengokohkan posisinya. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan berdasarkan arahan langsung Presiden dalam rapat terbatas, kini menjelma menjadi poros utama kebijakan populis nasional.
Bukan proyek mercusuar. Bukan pembangunan infrastruktur bernilai triliunan. Hanya nasi, sayur, dan lauk bergizi untuk anak-anak sekolah dasar.
Dalam kurun waktu kurang dari enam bulan, MBG telah menjangkau lebih dari 3 juta penerima manfaat, termasuk ibu hamil dan menyusui. Pemerintah membangun lebih dari 1.200 dapur umum dan menggelar distribusi makanan serentak di berbagai provinsi, menyasar daerah dengan tingkat stunting tinggi. Target ambisinya? 82 juta penerima manfaat pada akhir 2025.
Namun, keberhasilan program ini tidak hanya tercermin dalam angka. Approval rating Presiden Prabowo melonjak hingga menyentuh 88 persen tertinggi dalam sejarah kepemimpinan Indonesia dan bahkan melampaui pemimpin-pemimpin negara G20 lainnya. Tapi seperti kata pepatah: semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa.
Kritikan pun datang. Mulai dari ketiadaan susu dalam menu, hingga tudingan bahwa MBG hanyalah alat kampanye terselubung menuju Pilpres 2029. Tak sedikit yang menilai bahwa program ini membangun ketergantungan dan kultus individu. Bahkan ada narasi sinis yang beredar: "MBG harus gagal, demi Pilpres 2029."
Ironisnya, program yang awalnya hanya dipandang sebelah mata kini menjadi mimpi buruk politik bagi lawan-lawan Prabowo. Tidak ada calon yang berani secara terbuka menentang MBG terlalu berisiko secara elektoral. Jika publik percaya MBG akan dihentikan bila Prabowo tak berkuasa, maka Pilpres 2029 bisa beralih menjadi referendum tentang keberlangsungan program ini.
Kenyataan politiknya: satu piring makan siang mampu menggoyahkan skema kekuasaan yang selama ini bersandar pada wacana-wacana elite. Prabowo justru membalikkan peta dengan menyentuh hal yang paling sederhana, namun paling vital: perut rakyat.
Apakah MBG akan berhasil jangka panjang? Masih perlu evaluasi. Program ini memerlukan regulasi yang kuat, bukan hanya perintah lisan. Perlu transparansi dan partisipasi masyarakat agar tidak sekadar menjadi proyek lima tahunan.
Namun satu hal sudah jelas: MBG bukan sekadar program makan. Ia adalah strategi politik, narasi sosial, dan alat transformasi nasional. Dan jika tidak ada yang mampu menandingi kekuatannya, bukan tidak mungkin MBG akan jadi penentu utama siapa yang akan menduduki Istana di 2029.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI