Mohon tunggu...
Angin Bercerita
Angin Bercerita Mohon Tunggu... Manusia Biasa. 10 Persen Hati, 90 Persen Akal

Pribadi yang peduli pada sekitar, terutama beringin yang sedang bergoyang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahlil Lahadalia Layak Direshuffle: Antara Konflik Kepentingan dan Ketidakmampuan Menjawab Tantangan Energi Nasional

19 Juni 2025   20:36 Diperbarui: 19 Juni 2025   20:36 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Tribunnews

Di tengah kian rumitnya tantangan sektor energi dan sumber daya mineral Indonesia, kehadiran pemimpin yang kapabel, bebas konflik kepentingan, dan mampu membaca arah kebijakan strategis menjadi kebutuhan mutlak. Namun, jika kita mencermati kinerja dan berbagai kontroversi yang menyertai Menteri ESDM saat ini, Bahlil Lahadalia, ada alasan kuat untuk mempertimbangkan pencopotannya dari jajaran kabinet.

Pertama, rekam jejak Bahlil dalam merespons isu-isu krusial sektor ESDM menunjukkan inkonsistensi dan kecenderungan mengambil jalan pintas. Ketika terjadi lonjakan harga BBM dan tarik-ulur kebijakan subsidi energi, alih-alih mengedepankan transparansi dan pendekatan berbasis data, Bahlil justru kerap memberikan pernyataan normatif yang tidak menjawab keresahan publik. Ia seolah tidak memahami bahwa sektor ESDM bukan hanya soal investasi dan proyek-proyek besar, tetapi menyangkut hajat hidup orang banyak yang memerlukan kebijakan yang adil dan berkelanjutan.

Kedua, isu konflik kepentingan mencuat sejak dirinya merangkap jabatan sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebelum secara resmi mengemban tugas di Kementerian ESDM. Dalam kapasitas tersebut, ia dikenal sebagai figur yang agresif mendorong investasi, terutama dari perusahaan-perusahaan asing di sektor pertambangan. Namun ketika masuk ke ranah Kementerian ESDM---yang semestinya menjadi regulator dan penjaga hajat hidup energi nasional---kecenderungan Bahlil yang pro-investor tampak menabrak prinsip kehati-hatian dan kedaulatan sumber daya. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama dalam hal pemberian izin tambang, revisi aturan smelter, dan negosiasi kontrak-kontrak tambang jangka panjang.

Ketiga, pernyataan Bahlil yang terkesan menyepelekan kritik dan aspirasi masyarakat menunjukkan rendahnya sensitivitas politik dan sosial sebagai pejabat publik. Dalam beberapa kesempatan, ia cenderung reaktif dan emosional dalam merespons kritik, bahkan kepada sesama pejabat negara. Sikap seperti ini bukan hanya mencoreng etika birokrasi, tetapi juga mencerminkan kegagalan dalam memimpin kementerian yang sarat konflik kepentingan dan memerlukan pendekatan dialogis, bukan otoriter.

Keempat, arah kebijakan transisi energi yang seharusnya menjadi prioritas nasional belum menunjukkan langkah konkret dan strategis di bawah kepemimpinannya. Alih-alih mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan, Kementerian ESDM di era Bahlil justru terkesan masih terlalu berpihak pada model eksploitasi lama. Padahal, dunia sedang bergerak cepat menuju era energi bersih, dan Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam sektor energi surya, panas bumi, dan angin. Namun potensi ini belum digarap serius secara kebijakan, sementara insentif bagi industri energi fosil masih terus digelontorkan.

Terakhir, reshuffle terhadap Ketua Umum DPP Partai Golkar ini penting sebagai sinyal kuat bahwa Presiden masih berpihak pada rakyat dan masa depan energi Indonesia. Tidak ada yang personal dalam urusan ini. Namun posisi Menteri ESDM bukan sekadar jabatan teknis, melainkan peran strategis dalam menentukan nasib bangsa dalam jangka panjang. Jika pemimpinnya gagal menjawab tantangan dan malah memperbesar masalah, maka tak ada pilihan lain: ia harus diganti.

Oleh karena itu, untuk menjaga kredibilitas pemerintahan, menghindari konflik kepentingan, dan mempercepat transformasi sektor energi nasional, pencopotan Bahlil Lahadalia dari jabatan Menteri ESDM adalah langkah logis dan mendesak. Indonesia butuh figur baru yang lebih kompeten, bersih, dan berpihak pada kepentingan nasional, bukan pada investor semata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun