Indonesia saat ini tengah berdiri di persimpangan antara mimpi menjadi negara industri maju dan realitas pahit deindustrialisasi yang perlahan-lahan menggerogoti fondasi ekonominya. Di tengah situasi ini, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita justru lebih banyak hadir dalam bentuk narasi retoris ketimbang aksi konkret yang menyentuh jantung permasalahan.
Meski Agus bersikukuh bahwa Indonesia tidak mengalami deindustrialisasi, data berkata lain. Kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus menurun dari puncaknya di angka 31 persen pada tahun 2002 menjadi hanya 18,7 persen pada tahun 2023.Â
Tren ini bukan sekadar statistik, melainkan refleksi dari melemahnya sektor yang seharusnya menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional. Laporan dari Bank Dunia dan UNIDO juga menggarisbawahi pentingnya meningkatkan kontribusi manufaktur hingga 25 persen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun---target yang semakin tampak seperti angan-angan di bawah kepemimpinan Agus Gumiwang.
Salah satu sektor yang paling parah terdampak adalah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Industri ini adalah andalan nasional dalam penyerapan tenaga kerja dan ekspor non-migas. Namun kenyataannya, sektor ini kini sedang berada di ambang kehancuran. Salah satu pemain utama industri tekstil nasional, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi menyatakan bangkrut pada 2024.Â
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tak terhindarkan---menurut catatan Serikat Pekerja Nasional, puluhan ribu buruh industri tekstil telah kehilangan pekerjaan sejak 2022. Sayangnya, tidak ada langkah strategis signifikan dari Kementerian Perindustrian dalam merespons krisis ini, baik dalam bentuk proteksi dagang, insentif fiskal, maupun program revitalisasi industri.
Penyebab utama kemerosotan ini adalah derasnya serbuan produk impor murah, khususnya dari China dan Bangladesh, yang membanjiri pasar domestik. Para pelaku industri lokal tidak memiliki cukup perlindungan. Ketika negara-negara lain mengambil posisi strategis dalam perang dagang global dengan menutup celah-celah masuknya produk asing, Indonesia justru membuka keran impor lebih lebar melalui kebijakan seperti Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024. Ironisnya, dalam situasi seperti ini,Â
Menteri Perindustrian tidak tampak mengambil inisiatif taktis untuk menahan dampak negatif dari kebijakan lintas sektor tersebut.
Di sisi lain, ekosistem industri nasional juga tak kunjung terbentuk secara utuh. Kebijakan hilirisasi yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah pusat memang terdengar impresif, namun kenyataannya masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah.Â
Indeks Kompleksitas Ekonomi (Economic Complexity Index) Indonesia justru menunjukkan skor negatif, -0,1, di bawah negara-negara pesaing seperti Vietnam (+0,2) dan India (+0,6). Ini mengindikasikan lemahnya struktur industri bernilai tambah di Indonesia. Tidak hanya masalah teknologi, tetapi juga keterbatasan bahan baku, rendahnya tingkat riset dan inovasi, hingga kurangnya tenaga kerja industri yang terampil.
Peluang besar sebenarnya terbuka lebar di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Negara-negara seperti Vietnam dan Meksiko mampu menarik gelombang relokasi industri global, membangun kawasan-kawasan manufaktur berdaya saing tinggi. Sayangnya, Indonesia gagal memanfaatkan momentum ini karena absennya kepemimpinan strategis di sektor industri. Tak ada insentif khusus yang ditawarkan untuk menarik investasi relokasi, tak ada program transformasi industri padat karya seperti tekstil agar bisa bersaing, dan tak ada kejelasan arah kebijakan industri jangka panjang.
Seluruh kondisi ini menunjukkan satu kesimpulan penting: Menteri Perindustrian Agus Gumiwang gagal menjalankan peran fundamentalnya dalam merumuskan dan mengeksekusi kebijakan industrialisasi yang tangguh. Ia lebih sering tampil dengan narasi-narasi normatif seputar pertumbuhan IKI dan PMI yang sebetulnya bersifat jangka pendek, ketimbang melakukan lompatan kebijakan yang mampu menyelamatkan sektor strategis nasional dari kehancuran struktural.
Indonesia tidak bisa terus dibiarkan berada dalam ilusi pertumbuhan semu. Jika ingin mengejar visi besar "Indonesia Emas 2045", maka kepemimpinan di sektor perindustrian harus dipegang oleh figur yang tidak hanya paham data, tapi juga mampu mengubahnya menjadi kebijakan konkret yang membangkitkan kembali kekuatan industri nasional---dari tekstil hingga manufaktur berat, dari industri hulu hingga hilir.
Kegagalan Agus Gumiwang yang kini juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina DPP Partai Golkar adalah cermin dari kegagalan negara dalam memahami bahwa tanpa industri yang kuat, kita hanya akan jadi pasar dari pertarungan ekonomi global yang tak kita kuasai. Dan dari cermin ini, bangsa harus segera bergerak sebelum semuanya terlambat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI