Belakangan ini, muncul kontroversi mengenai hasil permainan AI yang menampilkan gambaran Jokowi dan Prabowo berciuman mesra, layaknya pasangan dalam hubungan cinta gay. Beberapa pihak membelanya atas nama "kreativitas," bahkan mengecam keras segala bentuk pelarangannya, Â sebagai upaya pembungkaman ekspresi seni.
Namun, jika kita menilik lebih dalam, patut dipertanyakan: "Apanya yang kreatif?"
Membuat gambar menggunakan aplikasi AI generatif bukanlah tindakan artistik murni jika hanya sekadar menumpahkan ide-ide daur ulang tanpa konteks baru.
Bahkan idenya sendiri --- memperlihatkan dua tokoh politik berciuman sebagai sindiran --- bukanlah sesuatu yang baru. Pada masa Perang Dingin, publik dunia sudah mengenal ikon visual serupa: foto Brezhnev dan Erich Honecker yang berciuman penuh gairah, tersebar luas sebagai simbol "persaudaraan tanpa batas" antara Uni Soviet dan Republik Demokrasi Jerman. Poster itu lalu menjadi bahan olok-olok, sekaligus karya seni mural ikonik pada Tembok Berlin di sisi Barat.
Artinya, bukan saja teknik yang digunakan kini hanyalah memanfaatkan kecerdasan buatan secara pasif, melainkan ide yang diangkat pun hanyalah pengulangan, tanpa inovasi makna.
Tidak ada reinterpretasi baru, tidak ada eksplorasi kontekstual yang memperkaya wacana. Yang ada hanyalah sensasionalistik murahan, mengandalkan kejutan semu untuk membangkitkan kehebohan publik.
Kreativitas sejati bukanlah sekadar "membuat gambar" --- apalagi dengan satu klik di aplikasi. Kreativitas adalah keberanian menawarkan pandangan baru, menyingkap lapisan makna yang tersembunyi, atau mengajukan pertanyaan yang belum pernah ditanyakan.
Tanpa itu semua, apa yang tersisa hanyalah pengulangan klise, dibungkus teknologi canggih, namun hampa dari daya cipta sejati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI