Sejak malam video call terakhir di tanggal 20 September 2024, hidupku terasa seperti kehilangan warna. Wajahnya, suaranya, senyum yang dulu begitu dekat kini hanya bisa kuingat dari layar kecil ponselku. Setelah panggilan itu berakhir, ada keheningan panjang yang tak bisa kupecahkan. Seolah dunia berhenti sejenak, meninggalkanku dengan perasaan yang menggantung di antara penyesalan dan rindu yang tak berkesudahan.
Aku tahu, ada banyak hal yang kuperbuat salah. Kadang aku terlalu keras kepala, terlalu ingin dimengerti tanpa belajar memahami. Tapi sejak hari itu, aku mulai berusaha memperbaiki diri --- meski tak ada jaminan waktu akan memberi kesempatan kedua. Banyak orang bilang, sudah terlambat. Tapi bagiku, cinta yang tulus tak pernah mengenal kata "terlambat". Selama masih ada doa, selama hati ini belum menyerah, aku akan tetap mencoba.
Setiap pagi aku memulai hari dengan satu ritual sederhana: membuka galeri foto kami. Di sana ada tawa yang dulu terasa hangat, kini membekas seperti cahaya senja yang perlahan memudar. Kadang aku tersenyum, kadang aku tertunduk. Tapi satu hal yang tak pernah hilang --- rasa syukur karena pernah mengenalnya.
Aku masih ingat caranya menatapku waktu itu, di antara percakapan ringan dan jeda diam yang panjang. Seolah matanya menyimpan banyak hal yang tak sempat terucap. Ada ketulusan, ada kecewa, tapi juga ada cinta yang masih menggantung. Aku tidak tahu apakah dia masih mengingatku, tapi aku tahu, aku tidak akan pernah bisa benar-benar melupakannya.
Malam-malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada lagi pesan "selamat malam" yang dulu selalu kutunggu. Tidak ada lagi suara lembut yang menenangkan setiap kali aku merasa lelah. Kini yang tersisa hanya bayangan --- tapi justru di situlah aku belajar tentang arti kehilangan yang sesungguhnya. Bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti memilikinya di sisi kita. Kadang, cinta hanya mengajarkan kita untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri, bahkan ketika orang yang kita cintai tak lagi bersama kita.
Aku mulai memperbaiki banyak hal: cara berpikir, cara merespons, cara menjaga perasaan orang lain. Aku tak ingin lagi menyakiti seseorang karena ketidaktahuanku tentang cara mencintai dengan benar. Jika waktu memberi kesempatan, aku ingin ia melihat perubahan itu --- bukan untuk membuatnya kembali, tapi agar ia tahu bahwa kehadirannya pernah mengubahku menjadi lebih baik.
Setiap langkah yang kuambil kini, entah besar atau kecil, aku lakukan dengan niat tulus: untuk memberikan yang terbaik bagi dia, meski mungkin ia takkan pernah tahu. Bagi orang lain, itu mungkin tampak sia-sia. Tapi bagiku, itulah caraku menyembuhkan diri. Karena dengan begitu, aku bisa sedikit mengobati rasa rindu yang terus tumbuh, diam-diam tapi nyata.
Aku percaya, tak ada cinta yang datang tanpa alasan. Ia hadir untuk memberi pelajaran, membentuk, dan menuntun kita pada versi terbaik dari diri sendiri. Mungkin suatu hari nanti, entah kapan, semesta akan mempertemukan kami lagi --- bukan untuk mengulang kisah, tapi untuk saling tersenyum dan berkata, "Terima kasih, karena dulu pernah berjuang."
Untuk saat ini, aku hanya ingin tetap berjalan, menata ulang hatiku perlahan. Rasa sakitnya masih ada, tapi kini tak lagi terasa sepedih dulu. Mungkin karena aku mulai mengerti: rindu bukan kutukan, melainkan pengingat bahwa aku pernah mencintai dengan sungguh-sungguh.
Di ujung jarak aku berdiri, menyebut namamu dalam sepi. Tak ada lagi janji, tak ada lagi tanya, hanya doa yang diam-diam menjagamu di sana. Rindu ini tak lagi ingin menuntut, ia hanya ingin menjadi cahaya lembut. Menemani langkahmu, walau jauh di mata, karena cinta sejati tak selalu harus bersua. Aku tak lagi menyesal, hanya belajar menenangkan gejolak yang sempat membakar. Jika suatu hari kau membaca waktu, semoga kau tahu, aku masih mendoakanmu --- tanpa menunggu balas rindu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI