Mohon tunggu...
Teguh Gunawan
Teguh Gunawan Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa Bahasa dan Kebudayaan Arab, Universitas Al Azhar Indonesia

Prinsip berkarya hanya dua; Tulis lalu publikasikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menanam di Aceh

16 September 2022   21:51 Diperbarui: 16 September 2022   22:07 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak terasa, waktu bergulir begitu cepat. Matahari berganti bulan, dan sebaliknya. Pagi berganti malam, dan sebaliknya. Senang berganti sedih, dan sebaliknya. Benci menjadi rindu, dan sebaliknya. Tenang, itu hanya segelintir perasaan seseorang manusia yang menjadi korban fatamorgana kehidupan.

Bukan perihal rindu yang akan dibahas saat ini, tapi tentang geografis. Yah, benar, geografis selalu menjadi tumpuan seseorang untuk mencari jati diri, bahkan jantung hati. Tidak, itu hanya gurauan belaka. Geografis, bukan tentang ihwal kenapa Tuhan tersenyum. Ini bukan Bumi Pasundan. Tapi, bumi yang orang-orang mengetahuinya dengan sebutan "Seuramo Mekkah". Ya benar, itu Aceh.

Jakarta, 1 September 2022, 12.15 WIB, menjadi tempat dan tanggal pertama seseorang mengangkasa dengan burung besar, pergi ke suatu bumi yang tak pernah diinjaki sebelumnya. Bermodalkan senyuman menyeringai kepada awan yang melepas hujan, seseorang itu tampak sedu. Berlindung dibalik jasmani yang terlihat gagah.

Perjalanan, petualangan, penjelajahan, tiga alasan seseorang itu meninggalkan kota tercinta dan orang-orang di dalamnya. Demi sebuah pencarian ilmu di tanah rantau, seseorang itu rela tidak menatap mereka sejauh mata memandang. Rindu yang dititipkan sementara di tanah rantau, akan ditukar dengan materi yang Ia inginkan sejak dahulu.

Aceh, 1 September 2022, 15.15 WIB, 3 jam perjalanan menjadi saksi bisu seseorang berkelana dengan sajadah aladin bersayap. Tidak terasa, melayang di atas garis khatulistiwa bagaikan menaiki podium dengan piala emas di genggaman tangan. Tinggi, bersahaja. Semua yang terlihat di bawah, amatlah kecil, bahkan tidak terlihat. Itu menandakan, kita sebagai manusia, tidaklah lebih besar dari butiran debu yang jatuh dari tangan seraya berdoa. Tampak lalu mengilang. Itulah kita, manusia. Hidup lalu mati. Singkat.

Bandara Sultan Iskandar Muda namanya. Masjid berkedok bandar udara. Kubah menjadi identitas tempat lalu-lalang burung besar yang lepas maupun mendarat. Atmosfer negeri syariat Islam, telah dirasakan oleh seseorang kelahiran tahun 2000. Sejak 22 tahun lamanya, Ia melepaskan belenggu dari hiruk piruk kota metropolitan.

Tercium aroma mie Aceh dari kejauhan, rempah yang memanjakan hidung, membuat rasa lapar bergejolak memukul perut yang kempis. Mie kuning yang ditemani telur mata sapi membuat mulut terkagum, "Alhamdulillah, ternyata begini makan mie Aceh di negeri pencetus mie Aceh," ucap seseorang yang telah menikmati tepung kuning panjang. Rempah yang khas, menjadi pembeda kuliner di Aceh dengan tempat asal, Jakarta. 

Kerinduan kuliner di Jakarta akan selalu dirindukan, apa lagi nasi uduk di pagi hari. Meski begitu, dengan mengeluarkan uang lima ribu rupiah, makanan apapun yang diinginkan, mudah didapatkan di kota Serambi Mekkah ini, beda halnya dengan Jakarta.

Seminggu berselang, seseorang itu telah menikmati berbagai macam debu yang bertebaran di satu pasang mata. Tidak heran jika Aceh dikenal dengan wilayah yang gersang dan panas. Hal tersebut sangat relevan dengan wilayah setempat yang terletak di pesisir, namun, angin yang memberikan kabar, berhembus begitu pesat. Saking cepatnya, rindu dari seseorang kerap kali terlewat. Tidak, tidak, itu hanya gurauan. 

Perubahan suhu di perantauan dengan tempat lahir, memang tidak begitu mencolok, namun keadaan yang mengharuskan seseorang untuk keluar kandang ketika siang hari demi mengisi kekosongan perut, menyambangi perubahan warna kulit yang menjadi kecoklatan. Sudah seperti bunglon rupanya. Perantauan memang identik dengan seperti itu, apa lagi tempat perantauan yang dekat dengan mentari.

4 bulan tersisa seseorang akan menginjaki bumi rantau ini, segala yang diharapkan selalu tertuturkan melalui tangan yang menghadap ke langit. Cita bahkan cinta, dua pilar yang akan menjadi tumpuan seseorang dalam memupuk tanaman di tanah lapang. Artinya, dimanapun tempat seseorang berada, di sanalah Ia bisa menumbuhkan apa yang akan Ia tanam. Sebagaimana pepatah mengatakan bahwa 'Apa yang engkau tanam, itulah yang engkau tuai'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun