Mohon tunggu...
Teguh Wibowo
Teguh Wibowo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

kaya belum tentu bermartabat . .

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sang Haji Sengon

14 Januari 2014   09:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu, Pak Samujo tak memiliki jadwal mengajar ngaji di mushola. Ia manfaatkan kesempatan itu untuk mengunjungi kebunnya, sekitar dua kilometer dari rumah tinggalnya. Kebun itu ditanami pohon sengon yang kini berusia tiga puluh enam bulan. Jumlahnya lima ratusan pohon. Dalam kondisi normal, pepohonan itu bisa dipanen dalam kurun waktu lima tahun saja. Artinya, dua tahun lagi pepohonan sengon yang tengah menghijau itu akan dipanen. Pak Samujo telah membudidayakan sengon sejak sepuluh tahun silam. Dahulu, kebunnya itu ditanami tanaman berumur pendek, semisal padi-padian atau jagung. Di sekitarnya ditanami tanaman keras semisal jati dan mahoni. Namun, setelah pemerintah gencar mengampanyekan sengon sebagai tanaman unggul pada sekitar tahun 2000-an, ia berganti pada tanaman sengon. Terbukti, sengon lebih dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan. Pak Samujo memegang salah satu batang pohon sengon, mengukur diameter dengan telapak tangannya, kemudian menghitungnya satu demi satu. Jika dua tahun lagi pepohonan sengon itu bisa dipanennya, niat istrinya untuk berangkat haji akan terlaksana sebagaimana juga dirinya tiga tahun silam. Pak Samujo Sang Haji Sengon Tiga tahun lalu, Pak Samujo menjadi orang pertama di kampung yang menginjakkan kakinya di tanah suci. Ia telah mengalahkan penduduk lain yang sepertinya lebih mapan darinya. Sengon adalah kuncinya. Beberapa tahun sebelum berangkat haji, ia terlebih dahulu menanam sengon di kebunnya. Ia mendaftarkan dirinya sejak dini untuk mendapatkan jatah kursi berangkat haji yang memang terbatas jumlahnya. Ia menyetor sejumlah uang tabungan, sisanya ia lunasi dengan menjual pepohonan sengon yang ia tanam dari kebunnya itu. Pengalamannya itu ingin ia ulangi dua tahun lagi. Sengon telah mengantarkannya berangkat haji. Kini, giliran istrinya yang sebentar lagi akan berangkat ke tanah suci. Lalu, bagaimana sebenarnya potensi ekonomi tanaman sengon sehingga mampu mengantarkan seorang petani untuk berangkat ke tanah suci? Dahulu, pohon sengon tidak begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pamornya kalah dari pohon mahoni atau pohon jati yang lebih dahulu dikenal oleh masyarakat. Demam sengon baru terjadi sekitar tahun 2000-an. Itu pun dengan dorongan dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Sengon merupakan jenis tanaman pepohonan yang sangat bermanfaat. Kayu sengon dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, meubel, wadah telur, dan bahan baku karton. Harga kayu sengon, permeter perseginya bisa mencapai satu juta rupiah. Permintaannya pun tidak pernah turun dari waktu ke waktu. Namun, yang lebih penting dari itu adalah masa pertumbuhan pohon sengon yang relatif lebih cepat daripada tanaman pepohonan lainnya semisal mahoni atau jati. Pohon sengon dapat dipanen dalam waktu lima tahun saja. Harga per batang pohon rata-rata 300-600 ribu. Kelebihan ini lah yang membuat Pak Samujo tertarik mengganti mahoni dan jati di kebunnya dengan pohon sengon itu. Pak Samujo memiliki kegiatan sehari-hari yang cukup mulia. Selain bertani di sawah atau kebunnya, ia sempatkan diri untuk mengaji. Dahulu, ia adalah lulusan sebuah pesantren di Semarang. Ia mempunyai tanggung jawab untuk menyalurkan ilmunya kepada anak-anak kampung. Di tengah suasana kampung yang masih terbalutkan nuansa relijius, warga memiliki cita-cita yang tinggi untuk berangkat haji. Hal itu pula yang mendor0ng Pak Samujo bersemangat menjalankan usaha pertaniannya. Dahulu, tak ada seorang pun yang mengira bahwa upaya Pak Samujo itu akan menuai hasil. Namun nyatanya, jerih payahnya itu telah mengantarkannya menuju tanah suci. Kini, warga kampung seolah  tergugah dengan keberhasilan Pak Samujo dalam bertani. Pak Samujo seakan menjadi tokoh teladan diantara mereka. Warga kampung pun ramai-ramai mulai memperhatikan kembali tanah-tanahnya yang sebelumnya tidak dikelola dengan optimal. Pepohonan sengon pun menghijau di kebun-kebun milik warga kampung. Pak Samujo tak hanya mengandalkan sengon sebagai tanaman utama. Ia juga menggunakan sengon itu sebagai tanaman pelindung. Di salah satu kebunnya, ia pun menanam kopi robusta. Kopi robusta merupakan jenis tanaman yang membutuhkan naungan karena tak mampu bertahan hidup jika terpapar matahari secara langsung. Di kebun itu, sebelumnya ditanami pohon kopi lokal yang kurang potensial. Pak Samujo kemudian menggantinya dengan kopi robusta hasil pembibitan sebuah lembaga penelitian kopi nasional di Jawa Timur. Di atasnya, pohon sengon yang berjarak tujuh meter satu dengan lainnya menjadi penanungnya. Dari hasil tumpang sari itu, Pak Samujo telah berhasil memanen kopi robusta selama dua tahun terakhir. Hasilnya, uang tabungan sebagai tambahan untuk biaya ke tanah suci pun bertambah tanpa harus menunggu pohon sengon itu dipanen. Tetapi, budidaya sengon dewasa ini setahun belakangan ini bukannya tanpa kendala. Ketika dahulu tanaman sengon belum begitu banyak dibudidayakan oleh masyarakat, hama tanaman sengon bisa dibilang sedikit. Tanaman ini dianggap sebagai tanaman yang aman dari hama. Namun kini, setelah sebagian besar masyarakat juga turut membudidayakan, berbagai macam hama aneh pun datang menyerang. Hama-hama itu berupa ulat dan jamur yang cukup sulit untuk diberantas. Hama-hama itu pula yang seringkali mengancam kebun sengon Pak Samujo. Untuk memperkuat daya tahan tanaman sengon itu, Pak Samujo rajin menyuntikkan pestisida ke batang pohon sengon. Penyuntikan itu dilakukannya tiga kali setahun ketika kondisi pohon sengon sudah kelihatan mulai lemah. Hasilnya, daya tahan tanaman meningkat, tanaman pun lebih cepat besar dan tumbuh menghijau. Dengan masifnya serangan hama pada pepohonan sengon, Pak Samujo dan warga lain mencoba mendiversifikasi risiko kegagalam tanam. Penduduk tak hanya mengandalkan sengon di ladang-ladang mereka. Kini, mereka pun memvariasikan kebun-kebun mereka dengan pohon jabon dan pohon jati unggul. Kedua jenis pehon yang terakhir ini memiliki mutu yang tidak jauh berbeda dengan pohon sengon. Harganya pun relatif sama mahalnya. Dengan variasi tanam yang dilakukan ini, kebun-kebun di belakang kampung itu tetap menghijau. Pepohonan bernilai jual tinggi masih tumbuh subur disana. Pak Samujo dan warga kampung yang lain masih begitu bersemangat untuk memelihara kebun-kebun mereka. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan akan semakin banyak warga kampung yang berangkat haji karena pepohonan yang mereka tanam. Dari bertani pun sesungguhnya kebutuhan hidup bisa tercukupi, bahkan mampu berangkat ke tanah suci. Tanah Indonesia memang begitu subur. Tuhan telah menganugerahkannya untuk bangsa Indonesia. Sebuah nikmat yang bahkan tak bisa diperoleh oleh negara dimana utusan terakhir-Nya dilahirkan. Tak salah jika warga kampung itu mendayagunakan tanah-tanah itu dengan begitu semangatnya. Sebuah wujud rasa syukur kepada Tuhan dan demi berkunjung ke rumah-Nya di Mekkah sana.

*****

BACA JUGA:


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun