Mohon tunggu...
Teguh Efatmi
Teguh Efatmi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Topik saya seperti lifestyle dan lain lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Dapur ke Kelas : Ketika Ibu Jadi Guru Dan WIFI Jadi Sahabat

2 Oktober 2025   18:34 Diperbarui: 2 Oktober 2025   17:47 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Siapa sangka dapur yang biasanya menghasilkan aroma masakan lezat, kini juga mengeluarkan suara teriakan "Mama, WiFi-nya lemot lagi!" Di era digital ini, rumah-rumah Indonesia telah berubah menjadi sekolah dadakan. Ibu yang tadinya ahli memasak rendang, tiba-tiba harus jago mengoperasikan Zoom. Ayah yang biasa membaca koran, sekarang sibuk mengunduh aplikasi belajar online. Pengalaman ini mengajarkan kita bahwa pendidikan bisa terjadi di mana saja, bahkan di antara tumpukan piring kotor dan jemuran yang belum diangkat. Rumah bukan lagi sekadar tempat istirahat, tapi juga laboratorium kehidupan yang mengajarkan pelajaran tak terduga. Transformasi ini tidak hanya mengubah fisik ruang, tetapi juga dinamika keluarga Indonesia yang semakin menyadari pentingnya peran bersama dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka.

Cerita lucu bermunculan dari setiap sudut rumah Indonesia. Ada ibu yang sampai hafal lagu opening Google Meet karena setiap hari mendengarnya, atau ayah yang terpaksa belajar matematika kelas 5 lagi karena anaknya bertanya soal yang tidak bisa dijawab. Meja makan berubah fungsi jadi meja belajar dengan tumpukan buku di satu sisi dan piring nasi di sisi lain. Kakek-nenek yang biasanya nonton sinetron, kini ikut duduk mendampingi cucu mengerjakan PR sambil sesekali berkomentar, "Jaman dulu tidak serumit ini!" Bahkan tetangga sebelah rumah jadi "guru darurat" ketika sinyal WiFi di rumah sedang ngambek. Inilah potret pendidikan Indonesia yang sesungguhnya - penuh improvisasi dan dipenuhi canda tawa di tengah kepanikan. Drama harian seperti "Zoom error lagi, Bu!" atau "Kenapa tugas tidak bisa di-submit?" telah menjadi soundtrack baru kehidupan rumah tangga Indonesia. Situasi ini menciptakan solidaritas baru di tingkat komunitas, di mana orang tua saling membantu dan berbagi pengalaman dalam menghadapi tantangan pembelajaran dari rumah.

Teknologi digital yang awalnya terasa asing, perlahan mulai diterima sebagai bagian dari proses belajar-mengajar. Guru-guru yang sebelumnya hanya mengandalkan papan tulis kini harus belajar membuat video pembelajaran, menggunakan aplikasi quiz online, dan berkomunikasi lewat platform digital. Siswa pun belajar mandiri dengan memanfaatkan YouTube untuk mencari penjelasan tambahan atau mengerjakan tugas melalui Google Classroom. Meski tidak semua keluarga memiliki akses internet yang stabil atau perangkat yang memadai, namun semangat untuk tetap belajar tidak pernah surut. Bahkan, banyak anak yang justru menjadi lebih kreatif dalam menggunakan teknologi untuk belajar. Proses adaptasi ini tidak berjalan mulus begitu saja. Banyak orang tua yang awalnya gaptek, kini harus belajar berbagai aplikasi pembelajaran online. Mereka rela begadang mencari tutorial di YouTube tentang cara menggunakan Google Meet atau cara mengirim tugas melalui email. Ironisnya, seringkali anak-anak yang justru menjadi guru bagi orang tuanya dalam hal teknologi, menciptakan dinamika pembelajaran dua arah yang unik dalam keluarga Indonesia.

Tantangan terbesar dalam belajar dari rumah adalah menjaga motivasi dan kedisiplinan. Tanpa pengawasan langsung dari guru, banyak anak yang merasa sulit untuk fokus belajar. Godaan untuk bermain game atau menonton TV lebih besar ketika belajar di rumah. Di sisi lain, tidak semua orang tua memiliki pengetahuan yang cukup untuk membantu anak-anaknya memahami materi pelajaran, terutama untuk mata pelajaran yang lebih kompleks seperti matematika atau sains. Namun, tantangan ini juga melahirkan solusi kreatif seperti grup belajar online antar tetangga, bank soal digital yang dibagikan gratis, dan program bimbingan belajar melalui televisi nasional. Ketimpangan akses teknologi juga menjadi permasalahan serius yang tidak bisa diabaikan. Tidak semua keluarga Indonesia memiliki laptop atau smartphone yang memadai untuk mendukung pembelajaran online. Belum lagi masalah kuota internet yang terbatas dan jaringan yang tidak stabil di daerah-daerah terpencil. Hal ini menciptakan kesenjangan digital yang berpotensi memperlebar gap pendidikan antara siswa dari keluarga mampu dan kurang mampu. Pemerintah pun akhirnya turun tangan dengan memberikan bantuan kuota gratis, meski implementasinya tidak selalu berjalan lancar.

Peran keluarga dalam pendidikan menjadi semakin krusial di era pembelajaran dari rumah ini. Orang tua tidak lagi hanya berperan sebagai penyedia kebutuhan fisik anak, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran, motivator, bahkan psikolog untuk mengatasi stress anak selama belajar dari rumah. Rumah yang semula tempat bersantai kini harus diorganisir ulang menjadi lingkungan pembelajaran yang kondusif. Ada yang sampai membuat jadwal ketat seperti di sekolah, ada pula yang menerapkan sistem reward and punishment untuk menjaga kedisiplinan anak. Tidak jarang orang tua merasa kewalahan karena harus berperan ganda sebagai pekerja profesional sekaligus pendamping belajar anak. Fenomena "sandwich generation" semakin terasa, di mana orang tua harus mengurus anak-anak yang belajar online sambil merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Belum lagi tekanan ekonomi akibat pandemi yang membuat banyak keluarga harus berhemat, termasuk dalam hal fasilitas pendukung pembelajaran online. Meskipun demikian, pengalaman ini juga memperkuat ikatan keluarga karena orang tua menjadi lebih terlibat langsung dalam proses pendidikan anak-anaknya.

Dampak psikologis pembelajaran dari rumah tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak anak yang mengalami learning fatigue atau kelelahan belajar karena terus-menerus menatap layar gadget. Interaksi sosial yang terbatas dengan teman sebaya juga mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial anak. Beberapa anak menjadi lebih pendiam, ada yang justru menjadi lebih agresif karena frustrasi dengan situasi yang tidak ideal ini. Orang tua pun tidak luput dari stress, terutama ibu-ibu yang harus mengelola rumah tangga sambil memastikan anak-anaknya belajar dengan baik. Fenomena "mom's burnout" atau kelelahan ibu rumah tangga semakin marak terjadi. Di sisi lain, ada juga dampak positif yang tidak terduga. Beberapa anak yang introvert justru merasa lebih nyaman belajar dari rumah karena tidak ada tekanan sosial seperti di sekolah. Mereka bisa belajar dengan ritme sendiri tanpa harus khawatir dinilai oleh teman-temannya. Bagi keluarga yang harmonis, waktu bersama yang lebih banyak ini malah memperkuat bonding dan komunikasi antar anggota keluarga.

Melihat ke depan, pengalaman pembelajaran dari rumah ini telah mengubah paradigma pendidikan Indonesia secara fundamental. Sekolah-sekolah mulai mengadopsi model blended learning yang menggabungkan pembelajaran tatap muka dan online. Guru-guru yang awalnya gagap teknologi kini menjadi lebih melek digital dan kreatif dalam menyampaikan materi. Orang tua juga menjadi lebih aware tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam pendidikan anak. Sistem evaluasi pembelajaran pun mulai bergeser dari yang hanya fokus pada aspek kognitif menjadi lebih holistik dengan mempertimbangkan aspek emosional dan sosial siswa. Infrastruktur teknologi pendidikan di Indonesia juga mengalami percepatan pembangunan yang signifikan. Platform-platform pembelajaran digital lokal mulai bermunculan dan berkembang pesat. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam mendukung pendidikan digital semakin menguat. Meski masih ada banyak PR yang harus diselesaikan, fondasi untuk transformasi digital pendidikan Indonesia sudah mulai kokoh.

Pengalaman belajar dari rumah mengajarkan kita bahwa pendidikan yang baik tidak selalu membutuhkan fasilitas yang mewah. Yang terpenting adalah kemauan untuk belajar dan dukungan dari lingkungan sekitar. Orang tua menjadi lebih menghargai peran guru, guru menjadi lebih kreatif dalam menyampaikan materi, dan anak-anak belajar untuk lebih mandiri. Ke depannya, kombinasi antara pembelajaran tatap muka dan pembelajaran digital bisa menjadi model pendidikan yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Yang paling penting, semangat belajar harus terus dijaga, karena pendidikan adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Hikmah terbesar dari pengalaman ini adalah bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat harus bersinergi untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang berkualitas. Dengan semangat gotong royong yang mengakar kuat dalam budaya Indonesia, kita yakin akan mampu melewati tantangan ini dan menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter kuat dan siap menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.

Referensi:

Andriani, R., & Rasto, R. (2019). Motivasi belajar sebagai determinan hasil belajar siswa. Jurnal Pendidikan Manajemen, 4(1), 80-86.

Aji, R. H. S. (2020). Dampak Covid-19 pada pendidikan di Indonesia: sekolah, keterampilan, dan proses pembelajaran. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 7(5), 395-402. DOI: https://doi.org/10.15408/sjsbs.v7i5.15314

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun