Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Keluarga Soemijat (8)

17 Agustus 2019   03:12 Diperbarui: 17 Agustus 2019   03:15 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Teka Teki Kembang Misterius

Kesedihan itu menghancurkan. Kendati Soemijat telah mengalami banyak peristiwa yang cukup menguras energi, tapi daya hancurnya tidak seperti kesedihan. Kesedihan itu laksana tentara yang bergerak pelan -- pelan di saat sepi. Dan melumpuhkan dari dalam. Tidak bisa dilawan. Yang bisa dilakukan hanyalah bertahan, sambil menunggu rasa itu berlalu.

Teror hantu yang terjadi selama beberapa hari di rumah, tidak menimbulkan apa-apa. Malah bisa mengalihkan perhatian sejenak dari kesedihan. Setelah teror itu berlalu,  kesedihan itu pun kembali muncul.

 Dan Soemijat, karena barangkali selalu mendapat pendidikan dari kurikulum Hindia Belanda, lebih mengedepankan logika. Hal -- hal yang bersifat mistis tidak menjadi perhatian khusus. Kalaupun Soemijat harus merasa takut, justru karena banyak orang jahat. Banyak fitnah yang berseliweran.

 Di masa penjajahan, siapa saja yang dicap musuh Belanda bisa langsung dikandangin. Dan situasi itu makin parah justru setelah masa kemerdekaan. Masa di mana Republik Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan.

Soemijat, memang mengabdi dan bekerja kepada pemerintahan Belanda. Akan tetapi pekerjaan yang dilakukan justru untuk mendidik anak-anak Bangsa Indonesia. Pekerjaan sebagai pendidik itu bisa dibilang netral. Bekerja untuk kemanusian. Mengobati kebodohan. Seperti dokter juga. Hanya bedanya kalau guru itu meningkatkan kemampuan bernalar. Melihat dengan logika.

Ketika fokus pada sesuatu, waktu berlalu tanpa terasa. Itu juga yang dirasakan Soemijat. Rutinitas yang telah dibangun sejak bekerja di desa Jejeg, kecamatan Bumijawa, kabupaten Tegal,  kemudian diteruskan di desa Banyuputih. Setiap sore, bersosialisasi dengan komunitas pemain badminton dan malamnya kadang  ngumpul dengan teman yang lain untuk bermain kartu.  Soal bermain kartu, Soemijat memang lumayan jago. Dari jenis kartu Ceki yang biasa dimainkan masyarakat Tionghoa, hingga kartu Remi. Tujuannya hanya untuk melewatkan malam. Agar waktu seperti segera berlalu. 

Ketika, rutin  bermain badminton,  rupanya ada salah seorang bunga desa yang selelau memerhatikan Soemijat.   Gadis itu bernama Wiyuripah. Usianya masih belasan,  belum menginjak dua puluh tahun. Sesungguhnya bukan hanya Wiyuripah yang kesengsem Soemijat.

Banyak gadis lain yang menaruh harap kepada Soemijat. Ya, Soemijat pada saat itu pinjam istilah anak sekarang, sebagai 'Duren' alias duda keren. Usia masih 28 tahun. Tapi telah menduduki posisi penting di kantornya. Karier sebagai pendidik, berjalan mulus. Pada zaman pemerintahan Belanda untuk naik pangkat tak harus  sowan lebih dahulu kepada atasan.

 Cukup  tampilkan prestasi terbaik, nanti sistem yang akan memproses. Kenaikan pangkat secara otomatis. Adapun soal sowan kepada atasan lebih menyangkut hubungan personal sebagai sesama pegawai. Tak menyinggung soal pekerjaan. Pekerjaan dibicarakan di kantor. Di luar kantor murni hubungan sesama anggota masyarakat.  

Karena masing-masing pegawai juga bertindak amanah terhadap pekerjaannya, sehingga terlihat kewibawaan dan kharisma sebagai  pegawai. Pun begitu dengan Soemijat. Pesona Soemijat bukan hanya muncul ketika sedang bermain badminton, yang memang sangat handal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun