Beliau juga menyoroti maraknya praktik pemasungan yang masih ditemukan di sejumlah desa. Menurutnya, praktik tersebut bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk kondisi ODGJ. Sosialisasi semacam ini, katanya, menjadi krusial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa ODGJ dapat pulih dan kembali produktif jika diberikan kesempatan dan dukungan yang memadai.
Penyampaian Materi Mengenai Advokasi Kebijakan dan Penghapusan StigmaÂ
Setelah penjelasan umum dari Ns. Rany, kemudian sesi penyampaian materi dilanjutkan oleh Bapak Igam Arya Wada, S.H., M.H., selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang menyampaikan materi utama dengan tema "Advokasi Kebijakan Guna Mendorong Peningkatan Layanan Kesehatan Jiwa dan Penghapusan Stigma yang Diskriminatif."
Dalam paparannya, Bapak Igam memulai dengan dasar hukum yang menjamin perlindungan terhadap ODGJ. Beliau menguraikan bahwa UUD 1945, Undang-Undang Kesehatan, hingga Undang-Undang Penyandang Disabilitas menegaskan hak setiap warga negara untuk memperoleh layanan kesehatan tanpa diskriminasi. Artinya, negara memiliki kewajiban melindungi dan memfasilitasi pemulihan ODGJ melalui kebijakan yang berpihak.
Bapak Igam kemudian menggambarkan kondisi kesehatan jiwa di Indonesia yang masih menghadapi tantangan serius. Keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, minimnya fasilitas rehabilitasi, tingginya ego sektoral dan rendahnya literasi masyarakat menjadi hambatan utama. Kondisi ini semakin kompleks dengan adanya stigma yang berlangsung di berbagai level, mulai dari stigma internal yang membuat ODGJ merasa tidak berharga, stigma publik yang menyebabkan diskriminasi, hingga stigma struktural yang tercermin dalam kebijakan dan praktik layanan yang belum sepenuhnya ramah disabilitas mental.
Dalam sesi ini, Bapak Igam menekankan pentingnya advokasi multisektor. Pemerintah desa dapat menyusun peraturan desa yang mengakomodasi kebutuhan ODGJ, sementara pemerintah kabupaten perlu memastikan layanan di puskesmas dan rumah sakit lebih inklusif. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memahami posisi ODGJ sebagai kelompok rentan. "Kita membutuhkan kebijakan yang benar-benar berpihak, bukan hanya di atas kertas, tetapi diimplementasikan dalam pelayanan nyata," ujarnya.
Bapak Igam juga menekankan pentingnya apresiasi kepada ODGJ. Menurutnya, ODGJ tidak boleh dipandang sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai subjek yang memiliki potensi. Bentuk apresiasi dapat berupa pelibatan mereka dalam kegiatan seni, olahraga, maupun ekonomi. Beliau kemudian memperkenalkan Program Garuda Jiwa, yang menjadikan seni gamelan sebagai media pemberdayaan sekaligus sarana inklusi sosial. Program ini tidak hanya memberi ruang ekspresi, tetapi juga menjadi terapi bagi ODGJ serta edukasi bagi masyarakat luas.
Diskusi dan Tanya Jawab: Status Hukum dan Keberlanjutan Program
Menanggapi pertanyaan tersebut, Bapak Igam menjelaskan bahwa secara hukum, ODGJ termasuk dalam kategori orang di bawah pengampuan atau tidak cakap hukum. Dengan status ini, mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana orang yang sehat jiwanya. "Jika ODGJ melakukan tindak pidana, maka pendekatannya bukan pemidanaan, melainkan penanganan medis dan rehabilitasi. Inilah bentuk perlindungan hukum yang harus kita pahami," jelasnya. Jawaban ini membuka wawasan peserta bahwa penanganan ODGJ membutuhkan perspektif hukum yang humanis.
Diskusi kemudian berlanjut pada pertanyaan mengenai keberlanjutan program. Seorang kader masyarakat menanyakan langkah konkret agar program Garuda Jiwa tidak berhenti setelah sosialisasi. Tim penyelenggara menjelaskan bahwa tindak lanjut akan dilakukan melalui penyusunan policy brief yang berisi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah. Selain itu, sedang diupayakan penerbitan Surat Keputusan Pembentukan Tim Kesehatan Jiwa Masyarakat (SK PTKJM) untuk memperkuat koordinasi lintas sektor.