Mohon tunggu...
Tegar Raffi Putra Jumantoro
Tegar Raffi Putra Jumantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sosialisasi "Garuda Jiwa" di Bondowoso: Pemerintah dan Akademisi Bersatu Mengikis Stigma terhadap ODGJ

30 Agustus 2025   11:13 Diperbarui: 23 September 2025   19:58 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosialisasi Garuda Jiwa di Kantor Kecamatan Curahdami Bondowoso

Bondowoso, 28 Agustus 2025 - Persoalan kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi isu serius yang kerap luput dari perhatian publik. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2022, tercatat sekitar 23 juta orang yang mengalami gangguan jiwa serius seperti skizofrenia atau psikosis. Praktik pemasungan masih ditemukan di berbagai daerah; di Kabupaten Bondowoso misalnya, pada akhir Desember 2024 tercatat empat pasien pasung yang belum dilepaskan. Kondisi ini mencerminkan rendahnya kesadaran publik tentang kesehatan jiwa dan keberlangsungan stigma terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Melihat urgensi tersebut, tim pengabdian masyarakat dari Universitas Jember bekerja sama dengan Universitas Bondowoso serta Pemerintah Kecamatan Curahdami menyelenggarakan sosialisasi “Garuda Jiwa (Gerakan Advokasi dan Rehabilitasi Usaha Pemberdayaan ODGJ)” pada Kamis, 28 Agustus 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Pengabdian Kepada Masyarakat (PkM) dan mendapat dukungan pendanaan resmi, didanai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (tahun pendanaan 2025). Selain itu, pelaksanaan teknis dan penguatan kapasitas lapangan terlaksana berkat bantuan dukungan dari LP2M UNEJ (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jember) serta DPPM UNEJ (Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jember). Kehadiran mitra-mitra ini memperkuat langkah kolaboratif antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat dalam upaya penghapusan stigma.

Pembukaan Acara

Pembukaan Acara dan Menyanyikan Lagu Indonesia Raya
Pembukaan Acara dan Menyanyikan Lagu Indonesia Raya

Acara dimulai sejak pukul 08.30 WIB dengan registrasi peserta, pengisian daftar hadir, dan penandatanganan komitmen bersama. Komitmen ini menandakan kesediaan seluruh peserta untuk ikut serta dalam upaya menghapus stigma terhadap ODGJ. Setelah itu, acara dibuka secara resmi dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang menghadirkan suasana khidmat sekaligus menegaskan bahwa isu kesehatan jiwa adalah bagian dari tanggung jawab nasional.

Camat Curahdami dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran desa dalam membangun masyarakat inklusif. Ia menekankan bahwa ODGJ adalah bagian dari warga negara yang berhak memperoleh perlindungan, pelayanan, dan kesempatan untuk hidup bermartabat. "Kita tidak bisa lagi memandang ODGJ sebagai beban. Mereka adalah bagian dari masyarakat kita, dan tugas kita adalah memastikan mereka mendapatkan hak yang sama untuk hidup sehat dan layak," ujarnya yang disambut tepuk tangan para peserta.

Sesi Penyampaian Materi Sosialisasi
Sesi Penyampaian Materi Sosialisasi

Penyampaian Materi Mengenai Gambaran Umum Kesehatan Jiwa dan ODGJ 

Sesi pertama disampaikan oleh Ns. Rany Agustin Wulandari, S. Kep., M. Kep., selaku dosen Fakultas Keperawatan Universitas Bondowoso. Ia memaparkan gambaran umum mengenai kesehatan jiwa, gangguan mental, serta kondisi ODGJ di Indonesia. Ns. Rany menjelaskan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi kesejahteraan di mana seseorang dapat menyadari potensinya, mengatasi tekanan hidup sehari-hari, bekerja secara produktif, dan berkontribusi kepada masyarakat.

Namun, banyak orang masih keliru memahami gangguan jiwa sebagai kelemahan moral atau kutukan, sehingga penderita sering mendapat perlakuan diskriminatif. Beliau menegaskan bahwa gangguan jiwa merupakan kondisi medis yang dapat ditangani dengan pendekatan terapi, pengobatan, serta dukungan sosial. "Masalah terbesar yang dihadapi ODGJ bukan hanya penyakitnya, melainkan stigma yang membuat mereka terisolasi. Inilah yang harus kita kikis bersama," tegas Ns. Rany.

Beliau juga menyoroti maraknya praktik pemasungan yang masih ditemukan di sejumlah desa. Menurutnya, praktik tersebut bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga memperburuk kondisi ODGJ. Sosialisasi semacam ini, katanya, menjadi krusial untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa ODGJ dapat pulih dan kembali produktif jika diberikan kesempatan dan dukungan yang memadai.

Penyampaian Materi Mengenai Advokasi Kebijakan dan Penghapusan Stigma 

Setelah penjelasan umum dari Ns. Rany, kemudian sesi penyampaian materi dilanjutkan oleh Bapak Igam Arya Wada, S.H., M.H., selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang menyampaikan materi utama dengan tema "Advokasi Kebijakan Guna Mendorong Peningkatan Layanan Kesehatan Jiwa dan Penghapusan Stigma yang Diskriminatif."

Dalam paparannya, Bapak Igam memulai dengan dasar hukum yang menjamin perlindungan terhadap ODGJ. Beliau menguraikan bahwa UUD 1945, Undang-Undang Kesehatan, hingga Undang-Undang Penyandang Disabilitas menegaskan hak setiap warga negara untuk memperoleh layanan kesehatan tanpa diskriminasi. Artinya, negara memiliki kewajiban melindungi dan memfasilitasi pemulihan ODGJ melalui kebijakan yang berpihak.

Bapak Igam kemudian menggambarkan kondisi kesehatan jiwa di Indonesia yang masih menghadapi tantangan serius. Keterbatasan tenaga kesehatan jiwa, minimnya fasilitas rehabilitasi, tingginya ego sektoral dan rendahnya literasi masyarakat menjadi hambatan utama. Kondisi ini semakin kompleks dengan adanya stigma yang berlangsung di berbagai level, mulai dari stigma internal yang membuat ODGJ merasa tidak berharga, stigma publik yang menyebabkan diskriminasi, hingga stigma struktural yang tercermin dalam kebijakan dan praktik layanan yang belum sepenuhnya ramah disabilitas mental.

Dalam sesi ini, Bapak Igam menekankan pentingnya advokasi multisektor. Pemerintah desa dapat menyusun peraturan desa yang mengakomodasi kebutuhan ODGJ, sementara pemerintah kabupaten perlu memastikan layanan di puskesmas dan rumah sakit lebih inklusif. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memahami posisi ODGJ sebagai kelompok rentan. "Kita membutuhkan kebijakan yang benar-benar berpihak, bukan hanya di atas kertas, tetapi diimplementasikan dalam pelayanan nyata," ujarnya.

Bapak Igam juga menekankan pentingnya apresiasi kepada ODGJ. Menurutnya, ODGJ tidak boleh dipandang sebagai objek belas kasihan, melainkan sebagai subjek yang memiliki potensi. Bentuk apresiasi dapat berupa pelibatan mereka dalam kegiatan seni, olahraga, maupun ekonomi. Beliau kemudian memperkenalkan Program Garuda Jiwa, yang menjadikan seni gamelan sebagai media pemberdayaan sekaligus sarana inklusi sosial. Program ini tidak hanya memberi ruang ekspresi, tetapi juga menjadi terapi bagi ODGJ serta edukasi bagi masyarakat luas.

Diskusi dan Tanya Jawab: Status Hukum dan Keberlanjutan Program

Sesi Diskusi dan Tanya Jawab
Sesi Diskusi dan Tanya Jawab
Sesi tanya jawab menjadi momen paling interaktif dalam acara ini. Seorang perangkat desa mengajukan pertanyaan mengenai perbedaan delik aduan dan delik biasa, khususnya dalam konteks ketika ODGJ melakukan tindak pidana. Ia bertanya apakah ODGJ dapat dikenakan sanksi hukum sebagaimana warga lainnya.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Bapak Igam menjelaskan bahwa secara hukum, ODGJ termasuk dalam kategori orang di bawah pengampuan atau tidak cakap hukum. Dengan status ini, mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana orang yang sehat jiwanya. "Jika ODGJ melakukan tindak pidana, maka pendekatannya bukan pemidanaan, melainkan penanganan medis dan rehabilitasi. Inilah bentuk perlindungan hukum yang harus kita pahami," jelasnya. Jawaban ini membuka wawasan peserta bahwa penanganan ODGJ membutuhkan perspektif hukum yang humanis.

Diskusi kemudian berlanjut pada pertanyaan mengenai keberlanjutan program. Seorang kader masyarakat menanyakan langkah konkret agar program Garuda Jiwa tidak berhenti setelah sosialisasi. Tim penyelenggara menjelaskan bahwa tindak lanjut akan dilakukan melalui penyusunan policy brief yang berisi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah. Selain itu, sedang diupayakan penerbitan Surat Keputusan Pembentukan Tim Kesehatan Jiwa Masyarakat (SK PTKJM) untuk memperkuat koordinasi lintas sektor.

Advokasi juga diarahkan pada peningkatan layanan kesehatan jiwa di puskesmas dan rumah sakit. Hal ini mencakup penambahan tenaga kesehatan, pelatihan kader, serta integrasi layanan rehabilitasi dalam program BPJS Kesehatan. Dengan demikian, ODGJ tidak hanya memperoleh hak secara normatif, tetapi juga layanan riil yang mendukung pemulihan.

Kolaborasi Lintas Sektor

Kegiatan sosialisasi ini memperlihatkan bahwa kolaborasi lintas sektor merupakan kunci keberhasilan. Pemerintah desa memberikan ruang kebijakan, akademisi menghadirkan penelitian dan pendekatan ilmiah, sementara masyarakat dan kader menjadi ujung tombak dalam implementasi. Program Garuda Jiwa juga menghubungkan dimensi kesehatan dengan budaya, melalui pelatihan gamelan dan pementasan seni tradisional yang melibatkan ODGJ.

Menurut tim pengusul, seni gamelan dipilih karena memiliki nilai terapeutik sekaligus simbol keterhubungan sosial. Bunyi gamelan yang harmonis menjadi metafora penting bahwa pemulihan ODGJ membutuhkan keselarasan antara individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara ini, stigma dapat dikikis melalui pendekatan yang tidak menggurui, tetapi menyentuh langsung aspek budaya masyarakat.

Penutup dengan Harapan Besar

Kegiatan diakhiri dengan sesi foto bersama antar peserta sosialisasi. Evaluasi singkat menunjukkan bahwa mayoritas peserta merasa kegiatan ini membuka wawasan baru dan meneguhkan komitmen untuk terus mendukung ODGJ. Banyak peserta berharap agar kegiatan serupa dilakukan secara berkala, bahkan dikembangkan menjadi program resmi di tingkat desa.

Sosialisasi "Garuda Jiwa" di Bondowoso memberikan pesan kuat bahwa perubahan sosial dapat dimulai dari ruang lokal. Dengan melibatkan camat, kepala desa, sekdes, akademisi, dan kader kesehatan, isu kesehatan jiwa kini masuk ke dalam arus utama pembangunan. Lebih dari itu, kegiatan ini menegaskan bahwa ODGJ bukanlah beban, melainkan bagian dari masyarakat yang memiliki hak, potensi, dan kesempatan yang sama. Dengan pendekatan berbasis kebijakan, budaya, dan pemberdayaan, Kabupaten Bondowoso menegaskan komitmennya menuju masyarakat yang lebih inklusif, sehat, dan berkeadilan sosial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun