Mohon tunggu...
SYAMSUL BAHRI
SYAMSUL BAHRI Mohon Tunggu... Administrasi - Conservationist

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tren Pilkada 2020: Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong

15 September 2020   17:42 Diperbarui: 17 September 2020   14:47 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Warga menunggu giliran untuk memberikan hak suaranya dalam kegiatan simulasi pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 di kawasan Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan, Sabtu (12/9/2020). (Foto: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

"Kotak kosong sebagai bentuk kekecewaan dan  perlawan rakyat"

Tren pasangan tunggal melawan kotak kosong pada Pilkada tahun 2020 semakinn hangat dan viral dalam berita media cetak, elektronik dan media sosial. Menurut Perludem, Calon tanggal akan mencapai 31 pasangan pada Pilkada tahun 2020, dan merupakan grafik yang sangat besar selama Pilkada di Era reformasi ini.

Banyak pengamat, anggota dewan dan masyarakat berusaha menyampaikan kenapa tren melawan kotak kosong ini menjadi trendi pada Pilkada 2020.

Bahkan kecenderungan menjadi pasangan tunggal adalah pasangan elit yang dinamakan pasangan Dinasti Politik, yang merupakan anak, menantu, keluarga, sahabat Pejabat yang berkuasa/atau pejabat yang sedang aktif menunggu hasil Pilkada Tahu 2020 ini.

Menurut Ratna melalui Kompas.com (09/09/2020), mereka yang maju sebagai pasangan calon tunggal umumnya memiliki akses sumber daya yang besar, baik sumber daya uang maupun kekuasaan. Melalui mahar politik, mereka mampu "memborong" dukungan atau rekomendasi partai politik untuk maju Pilkada.

Ada beberpa pendapat kenapa calon pasangan tunggal menjadi trend dalam Pilkada tahun 2020, menurut Syamsuddin Haris, Guru besar Riset LIPI antara lain: Pertama, regulasi pilkada dalam bentuk UU Pilkada No 10 Tahun 2016 terlampau berat mengatur syarat pengajuan paslon, baik bagi parpol dan gabungan parpol, maupun bagi kandidat perseorangan.  

Untuk mengajukan paslon, parpol dan/atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD setempat.

Kedua, tingginya "biaya perahu" atau "mahar politik" bersifat Invisible hand yang harus disetor paslon kepada parpol agar bisa diusung dalam pilkada. 

Mantan Ketua Umum PSSI La Nyala Mattalitti pernah mengeluh di depan publik karena dimintai mahar puluhan miliar rupiah agar bisa diusung oleh Partai Gerindra dalam Pilgub Jawa Timur, besarnya mahar ini salah satu dampak dari implementasi UU Pilkada No 10 Tahun 2016.

Ketiga, gagal dan mandeknya kaderisasi parpol. Pada umumnya parpol di negeri ini bukan hanya tidak menjadikan kaderisasi sebagai basis perekrutan politik, melainkan juga kaderisasinya sendiri tidak berjalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun