Mohon tunggu...
SYAMSUL BAHRI
SYAMSUL BAHRI Mohon Tunggu... Administrasi - Conservationist

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mahar Politik, Bentuk Pelacuran Politik

3 Februari 2020   17:37 Diperbarui: 3 Februari 2020   17:57 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Selain itu, parpol juga dapat dikenakan denda sepuluh kali lipat dari imbalan yang diterima, setelah melalui proses putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Di samping itu, selain didiskualifikasi, bakal calon juga dapat diproses secara hukum dan dijatuhi kurungan penjara jika terbukti menyerahkan uang.

Namun, meski aturan larangan mengenai 'mahar politik' sudah jelas, pemberian imbalan ke partai politik masih cukup rawan terutama saat partai politik membangun koalisi. Dalam hal ini, koordinasi antara KPU dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan /atau penegak hukum lainnya seperti KPK, Kekajsaan dan Polri sangat diperlukan.

Kita semua sangat memhami proses Pencalonan Kepala Daerah yang begitu ruwet dan Panjang, terutama di wilayah dan kewenangan Partai Politik mulai dari Proses rekruitmen melalui proses penjaringan di tingkat Partai di wilayah Pemilihan oleh masing-masing partai walaupun mereka menyadarinya secara legal tidak mencukupi kursi untuk menjadi partai pengusung, dan mereka tetap melakukan proses penjaringan tanpa diawali dengan pembentukan koalisi, ini memberikan indikasi kesulitan bagi para Bakal Calon Kepala Daerah yang inin maju sebagai competitor Kepala Daerah. Namun ini akan diikuti oleh para Bakal Calon Kepala Daerah dengan segala konsekwensinya.

Proses ini berlanjut sampai pada tahapan Fit and Proferty, yang merupakan proses penggalian kemampuan manajerial, pengetahuan, ketokohan baik personal bahkan pasangan dan rekam jejak bakal calon Kepala Daerah yang dipandang layak untuk diusung sebagai Calon Kepala Daerah, yang seharusnya akan digabungkan atau disinkronkan dengan hasil survey kelayakan elektabilitas yang merupakan tahapan untuk meminta pendapat masyarakat dimasing-masing wilayah terkait calon yang telah mendaftar sebagai bakal calon Kepala Daerah.

Kegiatan survey ini tentunya melalui tim survey yang telah dibentuk atau ditunjuk oleh Partai dengan pembebanan biaya kepada  Bakal calon yang ikut atau mau ikut dalam survey tersebut, dan biaya berkisar Rp 100 juta sd Rp 1 Milyar untuk 1 kali survey. Seyogyannya hasil fit and property yang digabung dengan hasil survey elektabilitas disamping menjadi konsumsi internal partai, juga menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan data tersebut, karena masyarakat atau pemilih disamping menjadi respondent juga memerlukan data informasi kelayakan bakal calon Kepala Daerah mereka sebagai bahan untuk menentukan pilihan, namun kecenderungan hasil tersebut hanya menjadi konsumsi Partai dan Bakal Calon, sungguh sesuatu yang ironis.

Dari hasil fit and proferty yang digabung hasil survey elektabilitas (yang hanya diketahui oleh Internal Partai dan Baca Kepala Daerah) maka sampai saat pada kondisi akhir adalah kondisi untuk mendapatkan surat tugas atau rekomendasi dari partai pengusung serta loby untuk mendapatkan rekomendasi untuk bisa diusung oleh partai pengusung dengan berbagai beban dan tanggung jawab serta konsekwensi financial lainnya, kondisi ini sungguh sangat rawan untuk terjadinya transaksi mahar yang di awaI ditingkat Kabupaten dan Kota serta finalisasi di Tingan Pusat atau DPP, dan hasilnya justru belum tentu sesuai dengan hasil pelaksanaan fit and proferty yang disnkronkan melalui hasil survey atau polling elektabilitas, bahkan ada kecenderungan penggiringan juga dimulai saat survey.

Dalam pelaksanaan tahapan Pilkada Peran Bawaslu dan Koalisi penegakan Hukum yang bernama Gakkumdu sangat penting dalam mengawasi praktik-praktik yang melanggar hukum tersebut. sedangkan di sisi lain, partai politik atau gabungan partai politik juga dituntut kesadarannya untuk tidak memajukan Calon Kepala Daerah dari satu aspek saja yaitu aspek kekuatan financial yang cenderung membuat pemilih terjebak karena popularitas, namun tidak mengakar rumput dan tidak memiliki kleyakan untuk menjadi pemimpin seterus agar dalam Pilkada 2020 tidak mengejar kemenangan semata dengan menghalalkan segala cara.

Sebaiknya untuk menyeleksi Pemimpin Daerah yang baik dan berkualitas jangan dinodai dengan praktik kotor 'mahar politik'. Apalagi Indek Korupsi indonesaia cukup tinggi, dan pemeberantasan korupsi memberi kesan sedikit mengecewakan dengan UU No 19/2019.

Jika praktik 'mahar politik' ini masih terjadi dan tidak diberantas, maka sangat sulit kiranya upaya pemberantasan KKN itu dapat terwujud. Karena 'mahar politik' atau biaya besar yang dikeluarkan oleh seorang calon pada saat pemilihan dapat memicu munculnya praktik KKN di kemudian hari saat ia telah terpilih nanti, disini akan berlaku hokum sebab akibat, karena mahar politik yang besar akan menimbulkan akibat yang multi akibat negative. (okeNews Sabtu 16 Maret 2019 01:53 WIB).

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengungkapkan, maraknya pejabat negara yang terlibat praktik rasuah lantaran adanya mahar atau biaya politik yang tinggi (okeNews Sabtu 16 Maret 2019 01:53 WIB).

Dalam temuannya biasanya untuk menjadi bupati, kisaran mahar yang dikeluarkan si calon bisa mencapai Rp 20 miliar bahkan Rp 50 miliar, sedangkan jika terpilih, calon terpilih itu, hanya akan mendapat gaji pokok sebagai bupati sekira Rp5,7 juta per bula

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun