Mohon tunggu...
Tb Adhi
Tb Adhi Mohon Tunggu... Jurnalis - Pencinta Damai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sich selbst zu lieben ist keine ritelkeit, sondern vernunft

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pesan Jokowi dari Solo: Konsolidasi Nasional, Demokrasi yang Santun

22 November 2022   12:20 Diperbarui: 22 November 2022   12:23 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo berulangkali menekankan pentingnya konsolidasi nasional dan demokrasi yang santun. (Foto: Kompas.com).

KONSOLIDASI nasional. Itulah mungkin inti dari pesan Presiden Joko Widodo yang secara tersirat disampaikannya saat memberikan sambutan di acara Munas HIPMI, Senin (21/11/2022) di Hotel Alila, Solo, Jawa Tengah. Jangan memainkan politik identitas, politisasi SARA, terutama agama. Ciptakan suasana yang adem di tahun-tahun politik, khususnya menjelang Pilpres 2024.

Bukan baru kali ini Presiden Jokowi mengutarakan hal itu. Menilik ke belakang, Jokowi sudah lebih dulu mengingatkannya dalam Pidato Kenegaraannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyarawatan Rakyat dan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka HUT ke-77 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di ruang rapat paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senin (16/8/2022).

Kala itu, Jokowi merujuk pada tahapan pemilihan umum yang Juni sebelumnya sudah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang disebutnya harus didukung sepenuhnya. Jokowi sudah menitipkan pesan agar pesta demokrasi melalui Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak 2024 berjalan dengan baik.

Mengutip pemberitaan Kompas.com, Jokowi pada kesempatan itu sudah menekankan agar semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi tidak lagi memainkan politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial. Semua pihak wajib bersama-sama memperjuangkan demokrasi yang semakin dewasa. Untuk itu, konsolidasi nasional harus diperkuat.

Pemilihan umum, terutama pemilihan presiden (pilpres), cenderung menjadi antitesa dari memperjuangkan keutuhan bangsa. Itulah yang harus dihindari. Partai-partai politik, elit partai, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh kebudayaan, memegang peranan penting untuk memperkokoh fondasi kebangsaan serta ideologi bangsa. Para pemimpin lembaga negara wajib mendukung dalam pengembangan demokrasi yang santun.

Pernyataan Jokowi di Solo, penegasan atas apa yang disampaikannya dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2022, mestinya memang tidak boleh dianggap sepele. Jokowi sekaligus mengingatkan agar Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak 2024 tidak lagi membuat bangsa ini terpecah-pecah, terdisrupsi dalam polarisasi sosial yang cukup parah.

Oleh karena itu, walau Pemilu 2024 relatif masih lama, akan tetapi Jokowi sudah mengingatkan agar semua pihak benar-benar mampu menciptakan suasana yang kondusiv di tahun-tahun politik ini.

Sekadar mengingatkan, KPU sudah memutuskan Pilpres dan Pileg dilaksanakan bersamaan pada 14 Februari 2024. Pileg untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI. Sementara, Pilkada serentak digelar 27 November 2024.

Terkait Pilpres 2024, masyarakat rasanya sudah cukup memahami interaksi dan dinamika yang terjadi. Partai-partai politik masih berjuang untuk memperoleh figur yang akan dijadikan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Sejauh ini, kita pahami baru Anies Rasyid Baswedan yang dideklarasikan oleh NasDem sebagai bakal capres.

Pernyataan Jokowi atas pentingnya konsolidasi nasional dan berdemokrasi yang santun bisa saja dikaitkan dengan dinamika yang akan terjadi pada Pemilu 2024, khususnya Pilpres, di mana diprediksi akan adanya lebih dari dua pasangan yang tampil, berbeda dengan Pilpres 2014 dan 2019.

Mengilas ke belakang, Pilpres 2014 diikuti oleh dua pasang capres dan cawapres, yakni Prabowo Subianto, ketum Gerinndra yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009.

Hasilnya, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dari Koalisi Indonesia Hebat mengungguli Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dari Koalisi Merah Putih, dengan perolehan suara 70.997.833 juta berbanding 62.576.444.

Pilpres 2019 kembali dikuti dua pasangan, yakni Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Pada Pilpres yang digelar 17 April 2019 itu, Jokowi-Ma'ruf Amin memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50%.

Pemilu 2019 mungkin akan terus dikenang sebagai pemilu yang bersejarah, mengingat ini merupakan pemilu terumit karena pemilu pertama di Indonesia yang dilakukan secara serentak. Pilpres dan pileg pada Pemilu  sebelumnya dilakukan secara terpisah.

Merujuk pada data KPU dan pemberitaan media, kesuksesan Pemilu 2019, salah satunya ditandai dengan tingkat partisipasi masyarakat, sebesar 81 persen, melonjak tajam    hampir sebesar 10 persen jika dibandingkan pada pemilu tahun 2014. Bagi KPU, kesuksesan tersebut mestinya memberikan spirit dan semangat untuk menyelenggarakan dan mendulang sukses yang sama pada Pemilu 2024 nanti.

Mengacu pada pernyataan Jokowi dalam pidato kenegaraan menyambut HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR, dan diulangi kembali saat memberikan sambutan di Munas HIPMI di Solo, kita wajib menengok pada apa yang terjadi pada kontestasi akbar politik 2019 lampau.

Banyak pelajaran penting yang bisa dipetik, diambil hikmah, dan wajib diantisipasi dari Pemilu 2019 lalu. Menuju Pemilu 2024, semua pihak harus bersikap lebih dewasa untuk menimimalisir polarisasi yang terjadi.

Mengutip data dari KPU dan media, polarisasi yang terjadi salah satunya karena pengaruh informasi yang sangat pesat melalui media sosial yang didalamnya ada berita bohong (hoaks /hoax ), disinformasi, misinformasi. Juga polarisasi karena politik identitas, pemanfaatan isu SARA, politik permusuhan, hate speech, black campaign, politik uang, dan politik intimidasi.

Kita sadari bahwa perkembangan teknologi dan derasnya arus informasi tak pelak turut berkontribusi dalam penyebaran konten hoaks yang cukup mengganggu. Tingginya pengguna smartphone, penguna media sosial  menjadi salah satu tantangan agar hoaks tidak tumbuh subur.

Dari berbagai data yang dihimpun penulis, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia saat ini sudah menembus lebih dari 200 juta orang. Jumlah itu dari waktu ke waktu terus meningkat...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun