Mohon tunggu...
Iqbal Tawakal
Iqbal Tawakal Mohon Tunggu... Konsultan - Rumah Perubahan

Siang Konsultan. Malam Kuli Tinta Jadi-Jadian

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dilema Perusahaan Media, antara Bisnis dan Independensi Wartawan

5 Maret 2014   00:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pers, sebagai pihak utama dan terdepan untuk mewartakan dan menyoroti suatu peristiwa kini justru sedang hangat diperbincangkan. Baik oleh kalangan pers sendiri, para pengamat, dan tidak ketinggalan pula masyarakat umum sebagai penikmat warta.

Bagaimana tidak, menjelang pemilihan umum legislatif dan disusul dengan eksekutif yang tinggal menghitung hari ini, peran serta dan tanggungjawab moral pers kepada masyarakat semakin bertambah besar. Berbagai persoalan dan polemik yang semakin besar setiap harinya membentur tubuh pers. Independensi dan obyektivitas pemberitaan menjadi satu kesatuan yang paling sering disorot oleh masyarakat.

Pers dinilai sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi yang hingga saat ini masih tergolong sehat. Di tengah kisruhnya kondisi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang makin bobrok di negeri ini. Kondisi sehat di tubuh pers ini bukan berarti tidak ada persoalan sama sekali. Pers, yang mengandung nilai-nilai kebebasan dan etika luhur, harus terus bertahan di tengah derasnya gempuran dari berbagai pihak yang mengancam kredibilitas jurnalis. Dalam hal ini tentu pemilik media, pemberi iklan, pejabat, aparat, dll.

Masyarakat kini semakin cerdas dalam menilai. Tidak terkecuali apa yang dirasa sering terjadi di dalam tubuh pers Indonesia. Sebagai gambaran umum, masyarakat selalu mengkritisi pers prihal independensi media dan pemberitaan di dalamnya. Seperti yang makin jelas terlihat bahwa pers kini sudah terang-terangan memihak kepada salah satu golongan dan kelompok tertentu.

Untuk meninjau persoalan ini, baik adanya jika Kita sebagai masyarakat awam menelisik lebih jauh apa sebenarnya persoalan mendasar di tubuh pers ini. Terlebih dengan mendekatnya pemilu 2014, peran pers dalam mencerdaskan golongan masyarakat sangat dibutuhkan realisasinya. Dengan menyajikan pemberitaan yang berimbang dan mencerahkan. Bukan mengadu domba dan membiaskan.

Insan pers secara langsung tentu bergabung di bawah naungan perusahaan media. Perusahaan media, sebagaimana yang dapat diartikan dengan perusahaan dan media mengandung unsur-unsur pokok yang di antaranya adalah bagaimana keterkaitan media (insan pers) dengan perusahaan. Dua hal ini tidak dapat dipisahkan. Karena memang media membutuhkan materi untuk dapat memastikan keberlangsungan proses peliputan, penulisan, percetakan dan distribusi karya jurnalistik di dalamnya.

Sebagaimana perusahaan tentu tidak lepas dari kepentingan bisnis. Hal inilah yang sering dikaitkan dengan keterlibatannya bisnis ke dalam mekanisme pemberitaan awak surat kabar. Campur tangan banyak pihak tentu saja secara langsung memengaruhi isi pemberitaan. Bagaimanapun juga, bisnis dan kode etik jurnalistik merupakan dua hal yang sudah jelas bertolak belakang.

Boleh jadi seorang reporter memiliki idealisme tinggi sebagai seorang jurnalis. Selalu mengedepankan independensi dan obyektivitasnya sebagai pewarta dan menuangkannya ke dalam sebuah tulisan lengkap dari hasil liputannya seharian penuh. Namun tetap saja isi berita mampu dimodifikasi dan diintervensi oleh pihak lain. Dalam hal ini, redaktur pelaksana menjadi pihak utama yang mampu mengubah sebagian atau keseluruhan isi pemberitaan sebelum naik cetak.

Menurut hasil riset yang dilakukan oleh AJI Semarang, Januari 2014 lalu, terhadap sejumlah media massa lokal, ada beberapa kriteria praktik ‘sensor’ yang bisa dimainkan. Pertama, fakta atau peristiwa yang sebenarnya memiliki nilai berita tapi sengaja tak disajikan oleh media. Kedua, peristiwa itu diberitakan namun faktanya telah terdistorsi. Ketiga, sensor dengan cara hanya peristiwa berdasarkan pada kepentingan pemilik media maupun rezim atau tidak memberitakan sama sekali peristiwa tersebut.

Kondisi demikian hanya sebuah puncak gunung es yang terdapat di tubuh perusahaan media. Sebagaimana perusahaan media, hal-hal teknis yang bersinggungan dengan kelompok-kelompok tertentu sangat mungkin terjadi dan tidak mampu dihindari. Di satu sisi, perusahaan perlu menjaga hubungan yang baik dengan banyak pihak. Baik pejabat, aparat, pemberi iklan dsb. Namun di sisi lain, jati diri seorang insan pers sering kali dipertaruhkan dan diperjualbelikan begitu saja.

Sebagai masyarakat awam yang bertindak sebagai pembaca dan penikmat media, tentu Kita harus cerdas dalam menanggapi situasi seperti ini. Ketika dirasa sebuah media massa tidak mewakili suara rakyat dan hanya memihak pada satu golongan tertentu, cukup tinggalkan saja. Ada baiknya jika pembaca memiliki media pembanding lainnya untuk mengetahui ke arah mana suatu media massa menggiring pembacanya.

Sebagai satu-satunya pilar demokrasi yang masih bisa diharapkan untuk menjadi anjing penjaga penguasa, tentu Kita semua berharap insan pers dapat terus bertahan dengan idealismenya dan tetap berdiri kokoh. Tidak runtuh.

.............................

@sitawakal
good writings Indonesia.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun