Mohon tunggu...
TauRa
TauRa Mohon Tunggu... Konsultan - Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Rabbani Motivator, Leadership and Sales Expert and Motivational Public Speaker. Instagram : @taura_man Twitter : Taufik_rachman Youtube : RUBI (Ruang Belajar dan Inspirasi) email : taura_man2000@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pentingnya Etika Merangkul, Bukan Memukul

30 September 2020   21:34 Diperbarui: 1 Oktober 2020   19:03 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Silvany Pasaribu, Diplomat Indonesia di PBB (sumber: YouTube/United Nations)

Jawaban dan pembelaan Diplomat Indonesia Silvany Austin Pasaribu terhadap "tuduhan" seputar pelanggaran HAM di Papua oleh Vanuatu di Sidang Umum PBB beberapa waktu lalu memang sudah sesuai porsinya.

Bagaimana kita lihat gesture-nya yang tenang namun tegas, dengan pemilihan kata yang lugas dan elegan juga sudah mewakili sikap tegas Indonesia terhadap upaya campur tangan pihak lain dalam menangani situasi yang ada di Negara Indonesia.

Tegas tak berarti keras. Tegas juga tak berarti kasar. Tegas bukan tentang menghina. Tegas juga tak berkaitan dengan merendahkan. Tegas tidak ada kaitannya dengan memberontak. Tegas juga tidak ada relevansinya dengan permusuhan. Tegas juga tidak harus ditumpahkan dengan emosi yang meluap-luap.

Singkatnya, Silvany sudah memberikan porsi yang pas terhadap sikap tegas itu. Minimal itu yang bisa kita lihat dari video sanggahannya yang beredar luas.

Lalu, perlukah kita latah untuk menindaklanjuti apa yang terjadi di PBB sana dengan sibuk "memburuk-burukkan" negara tertentu? Tentu semua punya argumentasi tentang apa yang dilakukannya.

Ada yang berdalih harus dilakukan meskipun hanya di media sosial, karena apa yang telah dilakukan telah mencoreng martabat kita sebagai bangsa yang merdeka? Ada lagi yang berdalih wajib bela negara jika sudah diusik dan lain sebagainya.

Kita tentu perlu menghormati setiap orang yang berpendapat dan mengekspresikan kekesalannya (di media sosial atau di mana pun) terhadap apa yang diekspresikan oleh perwakilan dari Negara Vanuatu itu terhadap Indonesia.

Tetapi tentu saja kita harus sepakat, kalau semua pendapat dan argumentasi itu, masih dikatakan bebas ketika masih berada di kepala kita masing-masing. Dan akan berganti menjadi "tidak bebas" ketika argumen itu sudah dilepaskan ke khalayak ramai, karena ada undang-undang ITE dan lain sebagainya yang mengikat dan mengatur argumen kita ketika dia sudah berkeliaran di dunia luas.

Jangan sampai akibat terlalu reaktif, Undang-undang ITE dan ujaran kebencian (misalnya) yang akan menjerat seseorang akibat menghina atau membuli suatu Negara, meskipun "menurut kita" dia salah.

Adalah proaktif jauh lebih baik di banding reaktif. Kita bisa menjadikan apa yang dia sampaikan itu sebagai bahan evaluasi atau mungkin sebagai bahan preventif agar apa yang disangkakan tidak (akan) terjadi.

Kita pun tentu tidak akan lupa, kalau etika pribadi bangsa kita adalah pribadi yang ramah, pribadi yang gemar merangkul, bukan senang memukul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun