Keinginan Negara Indonesia untuk bebas dari belenggu korupsi sudah lama dicanangkan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi melalui regulasi dilakukan di setiap periode pemerintahan negara ini. Secara yuridis aturan anti korupsi baru dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Hingga sekarang ini regulasi anti korupsi telah banyak dibuat. Pada masa pemerintahan Orde Baru peraturan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi dapat disebutkan di sini antara lain :
- GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara;
- GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
- Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
- Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS;
- Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Di masa reformasi upaya pemberantasan korupsi lebih digiatkan lagi dengan menerbitkan Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Kemudian dibentuk komisi negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya. Melalui UU Nomor 31 Tahun 1999 dibentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK).Â
Pembentukan lembaga ini dapat dikatakan merupakan upaya serius Negara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Lembaga Ini kemudian di kenal dengan sebutan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). KPK sebagai lembaga baru anak reformasi diberi kewenangan yang luar biasa dengan dilengkapi kewenangan penyadapan. Dengan kewenangan penyadapan ini KPK dengan mudah mampu melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Namun KPK lahir dengan kewenangan yang luar biasa, pemberantasan korupsi tak pernah padam. Tragedi tindak pidana korupsi oleh penyelenggara Negara dengan segala triknya masih menghiasi berita di media massa. Operasi tertangkap tangan masih sering terjadi. Upaya pemberantasan korupsi sepertinya masih jalan di tempat atau setidaknya sudah berjalan tetapi sangat lambat. Para tersangka korupsi dihadapan publik tidak merasa bersalah dan malu sehingga dengan ringanya ia tersenyum dan melambaikan tangan bak seorang yang menang bertanding.Â
Sebagian masyarakat pendukungnya kadang menjemput para narapidana korupsi yang keluar dari lembaga pemesyarakatan dengan memberi kalungan bunga, seakan-akan ia yang menjadi korban fitnah. Sistem hukum pemilihan juga sangat membingungkan karena tidak ada larangan bagi calon kepala daerah untuk tetap bertanding dalam pilkada meski sudah tersangka, demikian juga kepala daerah terpilih yang berstatus tersangka itu tetap dilantik sebagai kepala daerah definitive.
Masih maraknya terjadinya tindak pidana korupsi meskipun sudah ada KPK, boleh jadi karena ada seuatau yang salah dalam upaya pemberantasan tindak pidana kaorupsi. Dengan bertitik tolak pada teori Friedman di atas, nampaknya ada unsur yang tidak berjalan dengan baik sehingga sistem hukum pemberantasan korupsi pun tidak efektif. Untuk itu sistem hukum pemberantasan korupsi agar dapat berjalan efektif perlu dilakukan pembenahan secara konfrehensif dengan dilakukan pembenahan administrative pengelolaan harta kekayaan penyelenggara negara, penambahan sanksi sosial, dan penguatan kewenangan aparat penegak hukumnya.
Sistem akuarium pengelolaan harta kekayaan
Selama ini undang-undang telah mewajibkan penyelenggaran Negara untuk melaporkan harta kekayaan pada saat pertama kali menjabat dan berakhirnya jabatan tersebut serta laporan berkala tiap dua tahun sekali. Ketentuan ini seiring berjalannya waktu tidak efektif, banyak penyelenggaran Negara yang tidak mentaati aturan ini namun tidak dikenakan sanksi apapun. Untuk itu model laporan harta kekayaan ini perlu dilakukan pembenahan sistem melalui regulasi pengelolaan harta kekayaan penyelenggara Negara dengan model transparansi. Seluruh harta kekayaan penyelenggara Negara diposisikan ibarat ikan dalam akuarium, sehingga sewaktu waktu dapat dilihat oleh publik jika kepentingan menuntut demikian. Model akuarium ini dapat dilakukan dengan membuat ketentuan antara lain sebagai berikut:
- Semua bentuk transaksi penyelenggara Negara yang nilainya 5 juta ke atas harus melalui rekening;
- Harta kekayaan yang berupa benda bergerak dilarang di simpan, selain di tempat penyimpanan Negara baik di bank atau lembaga khusus yang ditunjuk Negara.
- Harta kekayaan yang tidak di simpan di tempat penyimpanan Negara yang nilainya lebih dari 25 juta secara hukum menjadi milik Negara.
- Harta kekayaan dalam bentuk benda tetap atau benda berharga lain yang tidak dilaporkan ke Negara, demi hukum menjadi milik negara,
Dengan model ketentuan di atas maka tidak ada celah atau ruang bagi penyelenggaran Negara untuk menyimpan uang ilegal. Mungkin saja mereka dapat menyimpan dengan diititipkan ke pihak lain, namun resikonya tetap besar karena jika ketahuan harta itu akan menjadi milik Negara, dan tentunya sanksi berat harus dikenakan kepadanya. Model akuarium ini akan meringankan tugas KPK, karena bukan manusia yang mengawasi tetapi sistem, seperti pengawasan oleh sistem yang sudah berhasil dilakukan di PT Kereta Api.
Sebelumnya pengelolan kereta api kewalahan melihat tidak disiplinya para pengguna kereta api. Mereka naik di atas atap kereta api, para pedagang asongan berseliweran dalam gerbong yang penuh sesak, para calo tiket seenaknya menghadang calon penumpang di stasiun, kereta ekonomi tidak berpendingin dan toilet sangat kotor. Intinya kondisi kereta api terutama klas ekonomi sangat semrawut seakan tidak mungkin dapat dibenahi. Namun sekarang perjalanan naik kereta api sudah nyaman, tidak ada calo, pedagang asongan, dan semua bisa duduk di gerbong yang berpendingin dengan toilet yang cukup bersih. Para pengguna bisa tertib dan disiplin tiada lain karena sistem yang mengawasi sehingga tidak ada peluang untuk melakukan penyimpangan. Ilustrasi ini untuk memberikan gambaran optimisme bahwa ternyata bangsa Indenosia bisa diajak ke arah yang lebih baik berdisiplin mengikuti sistem aturan.
Sanksi Tambahan