"Kasus di SMAN 1 Cimarga ini menjadi alarm pemerintah untuk segera mengirim Guru BK ke Jepang dan belajar cara mendisiplinkan anak tanpa kekerasan."
Pelajaran pahit yang kini viral dan terpampang nyata adalah kasus di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten. Seorang kepala sekolah (Kepsek) berinisial DP harus berurusan dengan polisi dan menghadapi proses penonaktifan. Alasannya simpel tapi memilukan, beliau diduga menampar muridnya yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah.
Kepsek itu berdalih bahwa tamparan itu spontan karena emosi dan kekecewaannya. Kekecewaannya, katanya, bukan karena si murid merokok (padahal sekolah jelas area bebas rokok), melainkan karena si murid berbohong dan tidak jujur. Apakah kejujuran lantas harus diajarkan dengan kekerasan fisik, dengan geplakan di pipi? Tentu saja tidak! Ini adalah tragedi disiplin yang harus kita bedah tuntas, karena ini bukan cuma masalah satu orang Kepsek yang katanya emosian. Ini adalah cerminan kegagalan sistemik, sebuah oligarki pendidikan yang masih menganggap kekerasan adalah jalan pintas menuju ketaatan.
Disiplin yang Berujung Mogok Sekolah, Bukti Kegagalan Sistemik
Mari kita lihat data-data faktual, bukan sekadar omon-omon pejabat normatif yang cuma bisa ngeles di media. Insiden tamparan itu, menurut laporan, berbuntut panjang dan menyeret banyak pihak yang tidak perlu.
Dikutip dari laporan Detik, orang tua siswa yang ditampar, inisial ILP, secara tegas melayangkan laporan ke pihak kepolisian—meski kabar terbaru sudah berdamai dan dicabut laporannya. Ini adalah sinyal jelas bahwa masyarakat modern tidak lagi mentolerir kekerasan, sehalus apa pun itu klaimnya. Disiplin yang seharusnya membangun karakter kini malah menjurus ke urusan pidana, bahkan sanksi bagi sang pelaku.
Bayangkan saja, seorang kepala sekolah yang seharusnya menjadi model dan figur parenting bagi 630-an murid di sekolah itu justru menjadi penyebab utama gejolak. Lebih parah lagi, ratusan siswa SMAN 1 Cimarga melakukan aksi mogok belajar sebagai bentuk solidaritas terhadap temannya dan sebagai protes menuntut kepala sekolahnya mundur. Bukankah ini ironis? Disiplin yang diterapkan dengan kekerasan justru menghasilkan ketidakdisiplinan massal dalam bentuk mogok sekolah.
Baca juga:Â Buku Disita dan Nalar Disunat di Republik Scroll
Terkait peristiwa aksi mogok ini, harus ada penyelidikan. Logikanya, dari 630 siswa apakah semua rela membuang waktu belajarnya di sekolah demi solidaritas? Suudhon saya, pasti ada penggeraknya. Nggak tahu siapa yang berkepanjangan.
Tujuan Kepsek, konon, adalah mendisiplinkan siswa, tapi hasilnya? Proses belajar mengajar terhenti, sekolah vakum, hubungan pendidik-murid rusak, dan kasusnya naik ke meja polisi. Disiplin reaktif yang mengandalkan emosi dan kontak fisik ini terbukti kontraproduktif total. Ia hanya melahirkan trauma, dendam, dan perlawanan, bukan ketaatan internal.
Ironi Sejarah dan Shitsuke, Kita Pernah Dijajah Tapi Kita Tak Belajar
Ini bagian paling menyebalkan dari seluruh cerita. Kita ini pernah dijajah oleh Jepang. Masa penjajahan itu, singkat memang. Tapi yang kita ributkan hanya soal romusha, jugun ianfu, atau seikerei, yang memang tragis dan tidak bisa kita lupakan.