Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengagumi Presiden RI di Negeri Firaun Sambil Menggugat MBG di Tanah Air

15 Oktober 2025   08:31 Diperbarui: 14 Oktober 2025   20:32 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto di KTT Perdamaian, Sharm El-Sheikh, Mesir (Sumber: MerahPutih.com)

"Menatap gagah Presiden di panggung perdamaian Mesir sambil bertanya, mengapa urusan sepiring nasi di rumah sendiri justru jadi sumber keruwetan APBN?"

Kita baru saja menyaksikan pemandangan yang memberikan harapan baru sekaligus memantik pertanyaan besar. Di tengah hiruk-pikuk domestik yang sibuk meributkan anggaran fantastis untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), perhatian kita sejenak teralih ke luar negeri, ke Sharm El-Sheikh, Mesir. Di sana, Presiden Prabowo Subianto hadir di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian, membawa misi besar yang bergaung pada semangat historis Indonesia sebagai pembawa damai. Ini adalah momen krusial yang menggarisbawahi peran penting Presiden RI sebagai pelopor perdamaian dunia.

Namun, di sinilah ironi itu muncul. Kita memiliki pemimpin yang diakui dan dihormati kehadirannya di forum-forum global untuk membahas perdamaian Gaza, Palestina dan geopolitik, seolah mewarisi DNA diplomatik pendahulunya, Presiden Soekarno. Tapi pada saat yang sama, kita masih bergulat dengan keruwetan kebijakan dalam negeri yang paling elementer. Urusan gizi dan isi perut rakyat, yang coba diselesaikan dengan program MBG. Program ini, dengan segala niat baiknya, berisiko besar menjadi kebijakan yang salah diagnosis dan berpotensi menghamburkan APBN.

Misi Diplomasi yang Membawa Perdamaian dari Jakarta ke Kairo

Berdasarkan laporan CNBC Indonesia, kehadiran Presiden Prabowo di KTT Perdamaian Mesir menegaskan kembali posisi Indonesia sebagai negara yang selalu berada di garis depan isu kemanusiaan dan penyelesaian konflik. Mengacu pada agenda yang dilaporkan, kunjungan ini bertujuan untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Sharm El-Sheikh yang membahas perjanjian perdamaian dan penghentian perang di Gaza.

Baca juga: Anggaran Rp71 Triliun dan Kisah Pahlawan Lidah yang Ditolak Guru

Meskipun berita ini dibuka dengan perbandingan historis dengan Soekarno, fokus utamanya tetap pada misi diplomasi masa kini. Ini adalah sinyal kuat bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo ingin melanjutkan tradisi diplomasi bebas aktif yang berpengaruh. Di tengah konflik global yang memanas, kemampuan seorang Presiden RI untuk tampil di panggung internasional, bertemu sejawatnya, dan menyuarakan perlunya penghentian perang, adalah bukti konkret kehebatan kepemimpinan dalam mewujudkan cita-cita perdamaian dunia. Ini adalah show of force moral yang membuat kita bangga.

Di Dalam Negeri, Ada PR Tentang Keruwetan MBG dan Ancaman APBN

Namun, kontrasnya sungguh membagongkan untuk diabaikan. Ketika di kancah global kita bicara tentang perdamaian dan kemanusiaan dengan postur tegak, di rumah sendiri kita dihadapkan pada keruwetan program MBG. Program ini menuntut alokasi anggaran yang sangat besar, mengancam defisit, dan berisiko menjadi solusi relief jangka pendek yang tidak menyentuh akar masalah.

Program MBG lahir dari asumsi bahwa stunting dan masalah gizi di Indonesia adalah masalah akses dan ketersediaan makanan. Asumsi ini, menurut pandangan kritis, adalah salah diagnosis. Indonesia adalah negara maritim tropis, tanah kita subur, laut kita kaya. Kita dikaruniai kelimpahan sumber makanan bergizi, baik protein hewani (ikan, ayam, telur) maupun nabati (sayur, buah, umbi-umbian). Kekayaan alam ini seharusnya membuat masalah gizi menjadi isu minor.

Makan Gratis, Mindset Sehatnya Kemana? Kenapa Kebijakan Berbasis Supply Gagal

Faktor utama yang menyebabkan masalah gizi, stunting, dan obesitas di Indonesia bukanlah ketiadaan makanan, melainkan mindset, pola hidup, dan minimnya edukasi gizi di tingkat keluarga.

Di era yang serba instan ini, banyak keluarga yang lebih memilih makanan instan, minuman kemasan, atau jajanan tidak sehat lainnya karena alasan kepraktisan dan harga yang relatif murah, dibandingkan mengolah bahan makanan segar yang lebih bergizi. Di sinilah letak keruwetan mindset itu. Memberikan makanan gratis, atau mensubsidi masif pasokan tanpa disertai perubahan kesadaran dan kebiasaan, sama saja dengan menuangkan air ke wadah yang bocor. Alih-alih mandiri dan pintar memilih menu, kita malah didorong menjadi bangsa yang bergantung pada uluran tangan kebijakan—cuma makan siang pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun