Hal ini adalah momentum untuk mendorong hilirisasi. Petani tidak lagi hanya menjual biji mentah. Biji kakao seharusnya diolah dulu menjadi produk setengah jadi atau bahkan produk jadi, seperti bubuk kakao, lemak kakao, atau bahkan cokelat batangan. Dengan begitu, nilai tambah yang didapat akan jauh berlipat ganda.
Bayangkan, jika kita bisa mengatasi masalah produktivitas dan kualitas, kita akan menjadi pahlawan di tengah kiamat.
Saat dunia kelaparan kakao, kita bisa tampil sebagai pemasok utama dengan produk berkualitas tinggi. Keuntungan yang didapat tidak hanya dinikmati oleh segelintir korporasi, tapi juga bisa dinikmati oleh para petani di akar rumput.
Saran Subyektif untuk Petani Kakao Indonesia
Nah, sekarang, kita tidak perlu lagi ngoceh soal kenapa harga naik. Yang perlu kita lakukan adalah apa yang bisa kita kerjakan.
Jadi, buat para petani kakao di seluruh Indonesia, ini beberapa saran ajaib (meski subyektif) yang mungkin bisa jadi inspirasi. Ini bukan sihir yang bikin kaya mendadak, tapi kerja keras yang bikin panen melimpah.
Pertama, jangan sayang untuk memotong dahan tua dan menggantinya dengan yang muda dan perkasa. Alias, lakukan sambung samping atau sambung tunas air.
Daripada menunggu pohon tua tumbang lalu menanam ulang dari nol yang makan waktu bertahun-tahun, sambung tunas jauh lebih efisien.
Bibit unggul bisa disambungkan ke batang pohon yang sudah ada, membuat pohon itu "awet muda" dan cepat berbuah.
Metode ini terbukti mempercepat masa produktif tanaman kakao, membuat kita tidak perlu menunggu lama untuk panen besar.
Kedua, jangan main tebak-tebakan saat merawat kebun. Ikuti saja prosedur GAP atau Good Agriculture Practices.
Kedengarannya keren, tapi intinya cuma satu: lakukan hal yang benar. Mulai dari pemilihan bibit, penanaman, pemupukan, pengendalian hama, sampai pascapanen, semua ada standarnya.