Melihat semua tekanan ini, wajar kalau banyak yang merasa lelah. Tapi, bukan berarti kita harus menyerah. Ada beberapa jalan pintas yang bisa kita coba untuk menyelamatkan mental dari gempuran ekspektasi ini.
Kenali dan Terima Emosi Itu, It's Okay Not To Be Okay
Pertama-tama, penting untuk mengakui bahwa apa yang kita rasakan itu valid. Merasa cemas, takut, atau stres itu normal. Jangan disangkal atau disimpan sendiri. Menerima perasaan ini adalah langkah awal untuk bisa mengelolanya.
Belajar Bilang "Tidak" yang Merupakan Kekuatan Sebuah Penolakan
Kita tidak harus selalu mengiyakan semua tuntutan. Belajar menetapkan batasan adalah kunci. Kalau sudah merasa terlalu banyak komitmen, beranilah bilang 'tidak'. Prioritaskan apa yang benar-benar penting dan yang selaras dengan nilai diri.
Isi Ulang Baterai Mental Karena Jeda Itu Penting
Melakukan self-care itu bukan kemewahan, tapi kebutuhan. Bisa dengan meditasi, olahraga ringan, membaca buku, atau sekadar menikmati kopi di pagi hari tanpa gangguan. Luangkan waktu untuk hobi atau hal-hal yang bikin kita senang, meskipun cuma 10 menit setiap pagi. Ini penting untuk mengisi ulang 'baterai' mental kita.
Fokus pada yang Bisa Dikontrol, Lepaskan yang Tidak
Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan, seperti opini orang lain atau kondisi ekonomi global. Daripada pusing memikirkan itu, lebih baik fokus pada hal-hal yang benar-benar ada di bawah kendali kita, seperti usaha, sikap, dan respons kita terhadap masalah.
Bantuan Profesional Bukan Merupakan Tanda Lemah, Tapi Kekuatan
Kalau semua cara sudah dicoba tapi mental tetap kembang kempis, jangan ragu mencari bantuan profesional. Psikolog atau psikiater bisa memberikan panduan dan strategi yang tepat untuk mengatasi tekanan. Ini bukan tanda lemah, justru menunjukkan keberanian dan keinginan untuk menjadi lebih baik. Seperti yang sering dikatakan, kesehatan mental itu sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Cari Lingkungan yang Suportif dan Hindari yang "Toxic"
Mengacu pada RRI, tekanan dari lingkungan toxic bisa memicu gangguan mental. Carilah orang-orang yang mendukung, mendengarkan, dan memahami kita, bukan yang justru menambah beban ekspektasi. Lingkungan yang positif bisa jadi oase di tengah gurun ekspektasi.
Bahagia Itu Pilihan, Bukan Hasil Memenuhi Ekspektasi Semua Orang
Hidup di zaman yang serba cepat dan penuh tuntutan ini memang tidak mudah. Ekspektasi seolah menjadi barang langka yang terus-menerus dikejar, kadang tanpa henti. Kita mungkin merasa tertinggal, kurang, atau bahkan tidak berarti jika tidak bisa memenuhi standar-standar yang seringkali tidak realistis itu. Namun, kebahagiaan sejati bukanlah hasil dari memenuhi setiap ekspektasi yang datang, apalagi yang datang dari luar dan tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan.
Kebahagiaan itu lebih kepada kemampuan kita untuk mengenali diri sendiri, memahami batasan kita, dan berani menetapkan prioritas yang benar-benar penting. Itu berarti belajar memilah mana "harus" yang memang penting untuk diri sendiri, dan mana "harus" yang hanya tuntutan fatamorgana belaka.
Mengelola ekspektasi bukanlah tanda menyerah, melainkan strategi cerdas untuk menjaga kewarasan di tengah zaman bising ini. Ini tentang menemukan kedamaian batin, tidak peduli seberapa kencang angin ekspektasi berhembus di luar sana. Jadi, mari kita beri mental kita jeda, rawat baik-baik, dan ingat, kita berhak bahagia, apa adanya, bukan karena apa-apa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI