Coba ngaku, siapa di sini yang tiap tahun ajaran baru langsung deg-degan lihat daftar iuran sekolah anak? Atau lagi sibuk ngitung-ngitung, "Cukup nggak ya uang bulanan buat SPP sama uang pangkal?" Belum lagi kalau anak "terpaksa" masuk sekolah swasta karena sekolah negeri idaman daya tampungnya penuh atau jaraknya jauh dari rumah. Rasanya tuh, beban di pundak orang tua makin berat aja, ya kan? Padahal, pendidikan itu kan hak setiap anak, bukan cuma buat yang kantongnya tebal aja.
Tapi nih, kemarin, ada kabar gembira dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bikin banyak orang tua menghela napas lega. MK bilang, pendidikan dasar (SD-SMP) itu wajib digratiskan, dan ini nggak cuma buat sekolah negeri aja, lho, tapi juga buat sekolah swasta atau madrasah tertentu. Wah, angin segar banget, kan? Ibaratnya, lagi panas-panasan di terik matahari, eh tiba-tiba ada es teh manis dingin disodorin. Segar! Tapi, apa iya putusan ini semudah itu diimplementasikan? Jangan-jangan bikin negara pusing tujuh keliling? Yuk, kita bedah bareng!
Menguak Makna di Balik Palu Hakim Konstitusi
Jadi gini, putusan MK ini bukan kaleng-kaleng, gaes. Ini bukan sekadar kebijakan yang bisa diubah kapan aja. Putusan ini adalah penegasan kembali amanat konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945. Mengacu pada Pasal 31 Ayat (1) dan (2) UUD 1945, jelas banget kalau setiap warga negara itu berhak dapat pendidikan dan wajib ikut pendidikan dasar, dan yang penting nih, pemerintah wajib membiayainya. Nah, selama ini kan pembiayaan "wajib" ini kesannya cuma buat sekolah negeri doang, ya. Padahal, realitasnya, banyak banget lho sekolah swasta dan madrasah yang justru jadi tulang punggung pendidikan di banyak daerah.
Dikutip dari Situs Resmi Mahkamah Konstitusi, putusan uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) ini memang mewajibkan negara untuk menjamin wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar (SD hingga SMP) tanpa biaya sepeser pun. Nah, bagian yang bikin heboh itu adalah penegasan bahwa ini juga berlaku untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat, alias sekolah swasta/madrasah. Ini jelas banget jadi lompatan besar dalam upaya mewujudkan keadilan akses pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Sebelumnya, biaya sekolah swasta seringkali jadi tembok tinggi yang menghalangi anak-anak kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dilema Orang Tua dan Jawaban yang Dinanti
Coba deh kita ngomongin realita di lapangan. Nggak semua orang tua punya kesempatan masukin anaknya ke sekolah negeri impian. Kadang, karena daya tampung yang terbatas, atau jarak sekolah negeri yang terlalu jauh dari rumah, pilihan jatuh ke sekolah swasta. Ada juga sekolah swasta/madrasah yang memang punya basis keagamaan kuat atau kurikulum spesifik yang diminati orang tua. Masalahnya, biaya di sekolah swasta ini seringkali bikin kantong cekak. Mulai dari uang gedung, SPP bulanan, sampai biaya ekstrakurikuler yang macem-macem.
Nah, putusan MK ini seolah jadi jawaban dari kegelisahan itu. Ini bukan cuma tentang "gratis" secara harfiah, tapi lebih ke penegakan hak agar semua anak, dari Sabang sampai Merauke, tanpa peduli kondisi ekonomi orang tuanya, punya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan dasar yang berkualitas. Ini adalah langkah konkret untuk mengurangi kesenjangan pendidikan yang selama ini jadi PR besar kita. Bayangin aja, berapa banyak senyum lega yang tercipta di wajah orang tua begitu tahu beban biaya pendidikan dasar ini bisa terangkat.
Anggaran, PR Terbesar yang Nggak Bisa Ditolak!
Oke, di atas kertas sih indah banget ya putusan MK ini. Tapi, kalau udah ngomongin implementasi, terutama soal anggaran, ini dia bagian yang bikin pemerintah garuk-garuk kepala. Selama ini, negara memang sudah mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan, dan itu sesuai amanat konstitusi juga. Mengacu pada informasi umum dari Kementerian Keuangan, alokasi ini sudah cukup besar. Tapi, membiayai operasional sekolah swasta dan madrasah yang jumlahnya segambreng di seluruh Indonesia itu bukan perkara mudah, lho!
Ini bakal jadi PR jumbo bagi pemerintah pusat dan daerah. Mereka harus muter otak gimana caranya dana sebesar itu bisa terkumpul dan dialokasikan secara efektif. Apakah harus ada realokasi anggaran dari program lain? Atau perlu mencari sumber-sumber pendapatan baru? Wacana pengalihan dana dari program tertentu, misalnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang masih jadi pembahasan hangat, jelas perlu perhitungan matang. Jangan sampai niat baik ini justru bikin sektor lain jadi boncos. Intinya, butuh efisiensi anggaran yang luar biasa dan inovasi dalam pembiayaan pendidikan.
Membilah yang Gratis dan yang Tetap Berbayar
Nah, ini nih bagian yang lumayan bikin bingung. MK sendiri memahami kalau nggak semua sekolah swasta itu sama. Ada sekolah swasta yang memang biayanya selangit, dengan fasilitas bintang lima, dan mungkin alumninya udah pasti jadi eksekutif muda semua. Sekolah-sekolah "elite" ini kan nggak mungkin juga digratiskan, ya kan? Kan lucu kalau anak sultan juga ikutan dibiayai negara.
Jadi, tantangannya adalah bagaimana merumuskan kriteria yang jelas dan adil untuk memilah sekolah swasta mana yang wajib dibiayai negara. Apakah berdasarkan rata-rata biaya SPP? Atau berdasarkan status akreditasi? Atau mungkin jumlah siswa dari keluarga prasejahtera? Ini butuh survei mendalam, data yang akurat, dan yang paling penting, mekanisme verifikasi yang transparan. Kalau nggak jelas, bisa-bisa malah jadi celah penyelewengan atau programnya nggak tepat sasaran. Niatnya baik, tapi kalau implementasinya nggak matang, bisa auto-miskin deh anggaran negara tanpa hasil maksimal.