Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Alarm Bahaya Alih Fungsi Lahan Berupa Penyegelan Tempat Wisata di Puncak

7 Maret 2025   10:34 Diperbarui: 10 Maret 2025   00:12 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kawasan Puncak (Sumber: Leonardo AI)

Kok Bisa Sampai Disegel?

Baru-baru ini, empat tempat wisata di kawasan Puncak, Bogor, resmi disegel oleh pemerintah. Alasannya? Diduga kuat sebagai biang kerok banjir yang melanda wilayah sekitarnya. Mengutip dari Detik News, tempat-tempat yang terkena dampak ini meliputi Pabrik Teh Ciliwung di Telaga Saat, Hibisc Fantasy, bangunan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2 Agro Wisata Gunung Mas, serta Eiger Adventure Land.

Penyegelan ini bukan sekadar tindakan hukum semata, tetapi juga sinyal peringatan serius tentang bagaimana kita mengelola lingkungan. Alih fungsi lahan hijau untuk kepentingan komersial tampaknya mulai menunjukkan dampak negatifnya, dan sayangnya, kita baru tersadar setelah bencana terjadi.

Dari Resapan Air Jadi Lahan Komersial

Puncak Dulu vs. Puncak Sekarang

Dulu, kawasan Puncak dikenal sebagai daerah resapan air yang krusial. Namun, seiring berkembangnya industri pariwisata, lahan hijau yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap air hujan malah berubah jadi lokasi wisata, vila, atau bahkan perkebunan skala besar.

Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup, tahun 2010, kawasan hulu Sungai Ciliwung masih memiliki sekitar 15.000 hektare lahan lindung, termasuk taman nasional dan hutan produksi. Fast forward ke 2022, jumlah ini merosot tajam—8.000 hektare lahan hijau berubah fungsi, sementara permukiman bertambah hingga 1.500 hektare. Angka yang cukup bikin miris, bukan?

Dampaknya: Banjir, Longsor, dan Ancaman Nyata Lainnya

Lahan hijau yang berkurang berarti daya serap tanah terhadap air hujan juga menurun drastis. Hasilnya? Aliran permukaan meningkat, banjir jadi lebih sering terjadi, dan tanah yang kehilangan vegetasi alami jadi lebih rentan longsor.

Fakta lain yang cukup mengkhawatirkan: lahan kritis di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung kini mencapai 3.203 hektare, dengan tingkat erosi lebih dari 180 ton per hektare per tahun. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi tanah di sana saat hujan deras datang?

Ketika Regulasi Tak Berdaya

Pengawasan Lemah, Pelanggaran Merajalela

Kasus penyegelan ini menyoroti satu masalah klasik: lemahnya pengawasan pemerintah. Regulasi soal penggunaan lahan sebenarnya sudah ada, tapi apakah benar-benar diterapkan?

Ambil contoh PT Perkebunan Nusantara I Regional 2-Unit Agrowisata Gunung Mas. Awalnya, izin wisata mereka hanya untuk area seluas 162.318 m. Tapi tanpa persetujuan lingkungan yang memadai, mereka memperluas hingga 350.800 m. Kalau aturan bisa dilanggar seenaknya, ya jangan heran kalau dampak lingkungannya jadi seperti sekarang.

Kebijakan yang Kurang Greget

Alih fungsi lahan hijau seharusnya bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. Tapi faktanya, perubahan tata ruang yang mengizinkan hal ini justru menunjukkan lemahnya komitmen terhadap kelestarian lingkungan.

Lebih parahnya lagi, sanksi bagi pelanggar juga kurang tegas. Kalau pelanggaran seperti ini hanya berakhir dengan denda ringan atau teguran, apakah ada efek jera?

Tidak Hanya Lingkungan yang Kena Dampak

Bencana Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun