Kok Bisa Sampai Disegel?
Baru-baru ini, empat tempat wisata di kawasan Puncak, Bogor, resmi disegel oleh pemerintah. Alasannya? Diduga kuat sebagai biang kerok banjir yang melanda wilayah sekitarnya. Mengutip dari Detik News, tempat-tempat yang terkena dampak ini meliputi Pabrik Teh Ciliwung di Telaga Saat, Hibisc Fantasy, bangunan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2 Agro Wisata Gunung Mas, serta Eiger Adventure Land.
Penyegelan ini bukan sekadar tindakan hukum semata, tetapi juga sinyal peringatan serius tentang bagaimana kita mengelola lingkungan. Alih fungsi lahan hijau untuk kepentingan komersial tampaknya mulai menunjukkan dampak negatifnya, dan sayangnya, kita baru tersadar setelah bencana terjadi.
Dari Resapan Air Jadi Lahan Komersial
Puncak Dulu vs. Puncak Sekarang
Dulu, kawasan Puncak dikenal sebagai daerah resapan air yang krusial. Namun, seiring berkembangnya industri pariwisata, lahan hijau yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap air hujan malah berubah jadi lokasi wisata, vila, atau bahkan perkebunan skala besar.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup, tahun 2010, kawasan hulu Sungai Ciliwung masih memiliki sekitar 15.000 hektare lahan lindung, termasuk taman nasional dan hutan produksi. Fast forward ke 2022, jumlah ini merosot tajam—8.000 hektare lahan hijau berubah fungsi, sementara permukiman bertambah hingga 1.500 hektare. Angka yang cukup bikin miris, bukan?
Dampaknya: Banjir, Longsor, dan Ancaman Nyata Lainnya
Lahan hijau yang berkurang berarti daya serap tanah terhadap air hujan juga menurun drastis. Hasilnya? Aliran permukaan meningkat, banjir jadi lebih sering terjadi, dan tanah yang kehilangan vegetasi alami jadi lebih rentan longsor.
Fakta lain yang cukup mengkhawatirkan: lahan kritis di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung kini mencapai 3.203 hektare, dengan tingkat erosi lebih dari 180 ton per hektare per tahun. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi tanah di sana saat hujan deras datang?
Ketika Regulasi Tak Berdaya
Pengawasan Lemah, Pelanggaran Merajalela
Kasus penyegelan ini menyoroti satu masalah klasik: lemahnya pengawasan pemerintah. Regulasi soal penggunaan lahan sebenarnya sudah ada, tapi apakah benar-benar diterapkan?
Ambil contoh PT Perkebunan Nusantara I Regional 2-Unit Agrowisata Gunung Mas. Awalnya, izin wisata mereka hanya untuk area seluas 162.318 m. Tapi tanpa persetujuan lingkungan yang memadai, mereka memperluas hingga 350.800 m. Kalau aturan bisa dilanggar seenaknya, ya jangan heran kalau dampak lingkungannya jadi seperti sekarang.
Kebijakan yang Kurang Greget
Alih fungsi lahan hijau seharusnya bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah. Tapi faktanya, perubahan tata ruang yang mengizinkan hal ini justru menunjukkan lemahnya komitmen terhadap kelestarian lingkungan.
Lebih parahnya lagi, sanksi bagi pelanggar juga kurang tegas. Kalau pelanggaran seperti ini hanya berakhir dengan denda ringan atau teguran, apakah ada efek jera?