Awal Agustus 2025 lalu, saya memimpin sebuah forum yang membahas sesuatu yang kian mendesak: bagaimana kecerdasan buatan (AI) masuk ke perpustakaan.Â
Diskusi ini digelar oleh Pusat Pengembangan Perpustakaan Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi Perpusnas, lembaga yang saya pimpin.
Dr. Rahmi dari Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia tampil sebagai narasumber pertama. Ia memaparkan hasil pengamatannya di kampus.Â
Banyak mahasiswa, dosen, dan peneliti mengaku sudah memakai AI. Ada yang memanfaatkannya untuk meringkas bacaan, ada pula yang sekadar bereksperimen membuat draft laporan atau publikasi.
Saya menambahkan catatan: hampir semuanya masih bersifat sporadis—bergantung pada inisiatif pribadi. Maka saya lontarkan pertanyaan yang menggelitik: apakah peran tata kelola perpustakaan cukup dibiarkan di level mainan pribadi, atau harus naik menjadi kebijakan kelembagaan?
Narasumber berikutnya, Dr. Adin Bondar, Deputi Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, menegaskan perlunya kebijakan agar adopsi AI bisa benar-benar meningkatkan layanan perpustakaan.
Padahal, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi sudah mengeluarkan pedoman resmi untuk penggunaan AI dalam kegiatan akademik. Tetapi pedoman itu belum cukup membuat lembaga pendidikan mengambil langkah konkret. AI tetap hidup di ruang individu, belum menyatu dalam tubuh organisasi.Â
Dari sinilah terlihat jelas jurang yang sedang kita hadapi: generasi muda begitu akrab dengan AI, tapi institusi pendidikan dan perpustakaan masih ragu melangkah.
Cerita dari Dalam Kantor
Pengalaman di forum itu membuat saya merenung. Jurang itu memang nyata. Namun saya bersyukur bisa menghadirkan cerita berbeda di kantor.