Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Anda Berani Jadi Agen Pencegahan Hoaks di Grup WhatsApp Keluarga Anda?

17 Juni 2020   13:30 Diperbarui: 17 Juni 2021   21:29 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: teknologi.bisnis.com

JIKA saya ditanya; apakah saya pernah menerima unggahan sampah atau kabar hoax yang dibagikan di WhatsApp grup keluarga saya? Saya akan menjawab: Ya, pernah.  

Sama halnya dengan saya, Anda, saya yakin, pasti juga pernah menerima. Atau sama halnya dengan mas Pras, teman saya, yang beberapa kali mengaku kegerahan dengan unggahan yang dibagikan di WhatsApp grup keluarganya, sebab dikait-kaitkan dengan keyakinannya (baca: agamanya). 

Ia bahkan mengaku pernah mau memutuskan akan keluar dari grup WAG keluarga. "Tidak perlu, mas. Pasti nanti akan menjadi rerasan (pergunjingan)," saya mencoba memberinya nasehat.

Derasnya arus informasi yang beredar di media massa nampaknya memang masih belum mampu ditangani dengan baik oleh setiap orang, termasuk anggota WhatsApp grup keluarga. 

Buktinya ternyata masih saja banyak orang memercayai berita sampah, meskipun sebenarnya informasi yang benar itu bisa didapatkan dengan sangat mudah dan tidak jauh: bahkan sudah ada di genggaman!

Maka, jika kemudian Anda menerima kabar sampah itu, apa yang biasanya Anda lakukan? Sekedar kesal? Membiarkannya?

Ikut membagikan, atau tiba-tiba Anda mendadak merasa memiliki keberanian mengingatkan, meski yang mengabarkan berita bohong itu adalah pakdhe Anda sendiri -seseorang yang paling dituakan di WhatsApp grup keluarga?

Anda memang bisa memilih mana yang Anda ingin lakukan: menggerutu, membiarkan, membagikan, atau mengingatkan. Anda bisa memilih yang Anda sukai.

Tetapi, menurut saya, Anda sebenarnya bisa memilih opsi-opsi berikut--dua opsi paling baik daripada yang lainnya: stop menyebarkan jika Anda tak tahu URL situsnya atau ikut mengingatkan jika Anda ternyata memilki keberanian yang cukup untuk mengingatkan. 

Jika Anda bisa melakukannya, apakah stop menyebarkan atau mengingatkan, berarti Anda sudah ikut menjadi agen pencegahan berita hoax. Salut!

Lantas, bagaimana dengan pengalaman saya sendiri?

Saya, jika memeroleh unggahan berita dengan judul bombastis yang dibagikan di WhatsApp grup keluarga saya, jika ada waktu berlebih untuk memeriksanya, biasanya akan memeriksa URL statusnya. 

Atau melakukan pencarian di Google Images, atau memeriksa di website anti hoax. Dan setelah yakin itu adalah hoax, saya lalu menyampaikannya.

Tetapi, itu akan saya lakukan jika saya punya waktu longgar. Jika tidak, saya biasanya hanya membiarkan saja.

Untuk turut aktif dalam menghentikan kabar hoaks, di WAG kelurga saya, satu kali, saya juga pernah membagikan informasi berupa tutorial cara memeriksa apakah sebuah informasi itu benar atau tidak, seperti misalnya, bagaimana cara melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. 

Dengan cara demikian kita akan mendapatkan hasil pencarian yang menyajikan apakah gambar-gambar atau video yang serupa pernah diposting di internet sebelumnya atau tidak. Kita bisa membandingkannya setelah itu.

Saya juga sering mengunjungi laman kominfo.go.id atau turnbackhoax untuk sekadar memeriksa hoaks-hoaks apa saja yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial sebelum membagikannya ke WhatsApp grup keluarga saya. 

Laman turnbackhoax.id ini adalah laman yang menampung banyak arsip hasil diskusi grup Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) di Facebook.

Mengapa orang terus saja menyenangi hoax, padahal informasi yang benar jelas-jelas ada di dalam mesin kecil yang digenggamnya!?

Mengapa bisa begitu?

Hal ini, saya pikir, disebabkan antara lain karena orang merasa malas melakukan verifikasi, atau malas berkunjung ke laman-laman diskusi grup Forum Anti Fitnah -yang saya sebutkan di atas.

Menurut Dr Pamela Rutledge, direktur pusat penelitian psikologi media ketika seseorang menerima kabar buruk atau kabar tragedi, ia merasa punya tanggung jawab moral untuk berbagi.

"Mereka, secara umum, tak peduli apakah itu hoax atau tidak. Mereka mungkin merasa lebih baik berbuat sesuatu (membagikan) daripada hanya diam saja," katanya.

Jadi, apakah Anda sudah bisa menjadi agen pencegahan berita hoaks di WAG Keluarga?

Saya sudah melakukannya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun