Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Apa Itu Work From Home, Pak?"

18 Maret 2020   13:46 Diperbarui: 18 Maret 2020   13:48 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar ilustrasi; www.theverge.com

Hari-hari yang penuh dengan kabar Corona ini mungkin menjadi ujian yang berat tersendiri untuk kang Yayan. Kemarin sore, ia tampak tidak seperti biasanya. 

Sambil sesekali meladeni pembeli, ia kelihatan sangat serius mendengarkan cerita dari bapak setengah baya dengan pakaian rapi berwarna hitam. Cerita tentang Covid-19. Dua pelanggannya yang lain juga begitu.

Covid-19, ternyata, tidak saja ramai diperbincangkan dan diperdebatkan di kantor-kantor, di WAG, di media sosial dan tempat-tempat elit lainnya, tetapi juga dibahas dan diceritakan di jalanan.  

"Covid-19 itu virus mematikan. Sangat berbahaya. Jumlah yang mati sudah ribuan!"

"Kalian tahu?" tanya bapak itu lagi. "Itu karena kita di-azab Allah....."

Kang Yayan menyodorkan kopi hitam ke pelanggan yang baru datang. Lantas kembali melanjutkan mendengarkan cerita dari bapak tukang ojek itu. Bla, bla, bla, bla...

"Corona itu sangat mematikan. Pemerintah semestinya memang harus menetapkan dan menerapkan kebijakan Lockdown."

"Harusnya sistem pekerjaan jarak jauh harus diterapkan semua perusahaan. Work From Home, " lanjutnya.

"Apa itu artinya, pak?" tanya kang Yayan.

"Kebijakan untuk meminta bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah."

Wajah kang Yayan tiba-tiba sedikit menerawang.

Aku sebenarnya ingin sekali memotong cerita bapak itu dengan beberapa kalimat saja, sebagai sebuah reaksi spontan dan normal saja. Aku ingin meluruskan cerita Covid-19 yang tidak benar. Aku ingin menjelaskan tentang sebarannya, tentang intensi work from home, dan lain-lain. Tetapi, MasyaAllah, ternyata, saya tak punya keberanian untuk memotong ceritanya.

Dalam hati saya (ternyata) hanya bisa membatin; kasihan kang Yayan. Mungkin dalam bayangan di kepalanya, ia membayangkan besok ia akan tergagap-gagap kehilangan pelanggan kopi setianya. Dan, tentu saja rejekinya.

Mungkin saja rangkain kata-kata "berbahaya", "ribuan meninggal" dan "bekerja dari rumah" itu serupa dengan "kiamat" baginya. Ia mungkin tidak sanggup membayangkan bagaimana jika besok dan seterusnya ia tidak mendapatkan uang?

Aku bisa memahaminya. Kang Yayan, pedagang kopi sachetan keliling, yang biasa aku jumpai tiap sore menjelang maghrib di sekitar gedung Menara Dea, hanyalah sekedar contoh dari sekian banyak rakyat kecil yang kuatir hidup mereka akan terkapar karena kehilangan pembeli-pembeli setianya, yang mungkin akan menghilang sementara waktu karena bijakan Work from Home itu.

"Apa artinya (Work from Home) itu, pak?" tanya kang Yayan, mengulangi pertanyaan yang tadi, setelah bapak paruh baya berpakaian rapi itu pergi. 

"Apakah benar besok tidak ada orang yang bekerja dan jalanan menjadi sepi, pak?" tanyanya lagi.

Aku lalu menyodorkan hape kepadanya, menscroll-scroll banyak halaman sekedar agar ia paham apa itu Covid-19, Lockdown dan Work from Home. "Ini juga penting, kang. Tentang nama penyakit-penyakit lainnya yang sebenarnya jauh lebih mematikan daripada Covid-19 untuk mengingatkan masih ada banyak penyakit yang kita waspadai ketimbang Corona."

Wajah kang Yayan tak tersenyum, tetapi tidak pula berterima kasih. Ia hanya menatap rentengan kopi sachetan di setang sepedanya dalam-dalam, seakan sedang berusaha membenamkan kekuatirannya.

Jalan di depan menara Dea kian rapat oleh banyak mobil sore itu. Matahari juga tampak sudah mulai turun. "Saya balik dulu, ya kang," kata saya sembari menyodorkan uang sepuluh ribu.

Kang Yayan masih merapikan rentengan kopi sachetan ketika aku meninggalkannya. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus saja mengingat cerita bapak tadi. Heran, kenapa masih saja banyak orang-orang yang bersemangat 'menakut-nakuti' rakyat kecil.

Kasihan kang Yayan. Ia dan orang-orang kecil lainnya seperti buruh kontrak, kuli serabutan dan pedagang kecil yang hidupnya megap-megap di Jakarta nyata-nyata tidak lah sama dengan Bram, Frans, Ros dan banyak dari teman-teman saya lainnya yang hampir bisa saya pastikan tak akan 'terkapar' jikalau mereka terpaksa hanya berdiam diri di rumah atau di kosan elit mereka meski hingga 2 minggu lamanya. Masuk kantor atau tidak, mereka pasti masih akan menerima gaji. Yang besarnya tidak akan kurang dari biasanya.

Sambil rebahan dan santai di kamar, mereka masih bisa menonton android TV, netflix, menulis status, haha hihi tanpa pernah sedikitpun kuatir apakah besok atau lusa mereka bisa makan atau tidak.

Suara-suara dan raut wajah rakyat kecil di jalanan seringkali tidak sama seperti asumsi-asumsi yang terlihat di atas kertas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun