Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Semua Cerita tentang Kudus dalam Sepiring Lentog

17 Juni 2018   23:15 Diperbarui: 18 Juni 2018   12:44 3104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Lentog adalah makanan khas Kudus berupa campuran lontong dengan sayur lodeh - campuran sayur nangka muda dengan tahu, tempe dan santan yang membuat rasa sayur menjadi gurih. Lentog disajikan dengan taburan bawang goreng dan sambal. Biasanya, kuliner ini disantap bersama sate telur puyuh dengan rasa manis sebagai pelengkap.

Saat hari raya Idul Fitri, selama beberapa hari, warung penjual lentog tampak seperti menjadi milik keluarga urban yang menjadi wakil kelompok perantau. Bersama pekerja kebersihan, pegawai kantoran dan buruh pabrik, mereka bertemu di warung murah nan meriah itu.

Pekerja, buruh dan tukang becak dengan penghasilan tak sampai 70 ribu rupiah per hari berkumpul dengan manager-manager dengan penghasilan puluhan juta sebulan untuk menuntaskan urusan perut dalam kesamaan selera dan rasa.

Maka, jangan heran, selama beberapa hari setelah lebaran, kita bisa dengan mudah menemukan pecinta kuliner lentog yang memarkir motor dan mobil-mobil dengan plat kendaraan luar daerah berderet-deret di pinggir jalan.

"Kelas berapa sekarang nyo?" tanya seorang pembeli.

"Ini mau kelas tiga," kata seorang pembeli lain yang duduk di bangku paling pojok, menjawabkan pertanyaan untuk anaknya.

Tegur sapa dan jawab singkat, antara 2 orang penikmat lentog yang "berbeda", yang di Jakarta pernah begitu ramai disebut sebagai "pribumi" dan "non pribumi" itu, kemudian berlanjut dengan saling bertanya seputar pekerjaan masing-masing. Aku begitu menikmati obrolan mereka, dan sesekali ikut memberikan komentar kecil.

Sambil sibuk meladeni pembeli, aku juga lihat ibu penjual lentog tampak tidak diam. Ia sangat grapyak dan terlibat dalam pembicaraan yang ngalor-ngidul dengan semua pelanggannya, yang ternyata banyak juga dari "non pribumi".

"Saya bekerja di Jakarta koh. Baru kemarin malam saya datang di Kudus," jawabku saat ditanya bapak berumur 50-an tahun. Melihat benda kecil di samping handphone, aku menebak bapak itu pasti hendak beribadah di gereja yang ada di belakang warung.

Saya ganti bertanya, dan tidak terasa kami jadi akrab. Kami lalu saling bertukar cerita.

Aku mendengar beberapa potong cerita tentang perjuangannya saat Bapak itu masih muda dan aku juga bercerita tentang semua uneg-unegku yang aku abadikan dalam beberapa artikel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun