"Tidak ada cetak biru; semua ukuran kapal diingat di kepala." Bagi orang Bugis, perahu adalah jiwa, bukan sekadar alat angkut. Dari sinilah lahir kapal-kapal phinisi yang masih mengarungi lautan hingga kini.
Kami kemudian memasuki ruang Majapahit. Panel besar bertajuk "Surya Majapahit" menampilkan relief matahari dengan delapan sinar, lambang delapan penjuru mata angin. Simbol itu menggambarkan pandangan dunia Majapahit: keseimbangan antara arah, kekuasaan, dan kebijaksanaan. Laut bagi mereka bukan batas, melainkan jalan penghubung antarperadaban.
Di ruang berikutnya, diorama pelabuhan Majapahit menampilkan dermaga ramai dengan kapal, pedagang, dan rakyat. Di depannya, artefak seperti celengan berbentuk babi, uang gobog, dan patung tanah liat memberi gambaran kehidupan ekonomi yang dinamis.
Celengan melambangkan kemakmuran dan kebiasaan menabung, uang gobog menandai sistem perdagangan yang mapan, sementara patung-patung kecil memperlihatkan sisi spiritual masyarakatnya.
Yang menarik, di antara temuan itu juga terpajang uang kepeng Cina---jejak hubungan dagang Majapahit dengan Tiongkok. Koin berlubang di tengah itu menunjukkan bahwa pelabuhan-pelabuhan Nusantara sudah lama menjadi simpul perdagangan internasional. Celengan, gobog, dan kepeng seolah berbicara dalam satu narasi: kemakmuran tumbuh dari keterbukaan terhadap dunia.
Perjalanan di sayap barat berakhir di panel besar bertuliskan "Kekuatan Armada Dagang VOC." Kapal raksasa berlapis geladak terpampang megah, lengkap dengan data yang mencengangkan: lebih dari 4.700 kapal berlayar dari Belanda ke Asia antara tahun 1602 hingga 1795, membawa 973 ribu awak dan barang dagangan senilai ratusan juta gulden.
Visual itu menampilkan sisi lain dari sejarah maritim Nusantara---saat laut yang dulu menjadi jembatan peradaban, berubah menjadi jalur monopoli dan penjajahan. Di balik kilau keuntungan "sepuluh juta gulden per dekade", terpantul kisah getir bagaimana kejayaan satu bangsa dibangun di atas penderitaan bangsa lain. Kapal-kapal itu berlayar membawa rempah, tapi juga meninggalkan luka panjang di pelabuhan-pelabuhan yang pernah makmur.
Perjalanan singkat selama sekitar 30 menit di sayap Barat museum maritim memberikan pengunjung gambaran sejarah panjang kemaritiman di Nusantara. Sejak asal usul manusia Nusantara di Taiwan hingga kedatangan bangsa barat. Yuk kita tunggu cerita selanjutnya dari Sayap Timur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI