Nama perahu itu Hokule'a, dari bahasa Hawaii berarti "Bintang Kegembiraan." Replikanya dibangun di Hawaii pada 1975 untuk membuktikan bahwa pelaut Polinesia kuno memang mampu menaklukkan Samudra Pasifik tanpa kompas dan peta---hanya berbekal pengetahuan membaca bintang, arus, dan gelombang.
Kami kemudian berhenti di depan nekara perunggu, gendang sakral dari masa purba. Ketika Mbak Keiza menepuknya pelan, bunyinya berat dan dalam, seperti gema yang menembus ruang waktu. Ia menjelaskan bahwa nekara digunakan dalam upacara dan perayaan, bahkan sebagai alat tukar di beberapa kepulauan. Ukirannya---berpola bintang dan lingkaran---memancarkan kisah tentang doa, hujan, dan restu dari langit. Saya dan beberapa teman tidak mau ketinggalan mencoba menabuh gendang itu.
Tak jauh dari situ, diorama besar menampilkan pelabuhan Sriwijaya di tepi Sungai Musi seribu tahun silam. Kapal besar berlayar merah baru saja bersandar, pedagang dari Tiongkok, India, dan Arab berbaur dengan penduduk lokal.
Sriwijaya, kata Mbak Keiza, bukan sekadar kerajaan maritim, tetapi pusat pengetahuan dan perdagangan dunia. Dari sinilah bahasa Melayu kuno lahir sebagai bahasa persatuan Asia Tenggara.
Di panel berikutnya, Prasasti Telaga Batu terpajang dalam kaca. Batu tua beraksara Pallawa itu berisi sumpah setia dan kutukan bagi siapa pun yang berkhianat. Aura kewibawaannya terasa kuat; setiap huruf seperti masih berbisik tentang keadilan dan kesetiaan. "Sebelum konsep negara modern lahir," ujar Mbak Keiza, "para leluhur kita sudah memahami pentingnya sumpah dan tatanan."
Selanjutnya, kami berhenti di depan relief kapal maritim Borobudur. Di situ tergambar kapal-kapal besar dengan layar tinggi, awak yang sibuk, dan para bangsawan yang menerima utusan dari negeri jauh.
"Dari relief inilah kita tahu," ujar Mbak Keiza, "bahwa nenek moyang kita bukan hanya pelaut, tapi pembangun peradaban laut."
Sejenak ruangan itu terasa seperti dermaga masa lalu---dengan bunyi angin dan debur ombak yang seakan hidup kembali di dinding batu. Saya ingat pernah berkunjung ke candi Borobudur dan melihat kapal samudra reksa di museumnya.
Perjalanan berlanjut ke diorama pembuatan kapal Bugis. Para lelaki bertelanjang dada tampak bekerja di bawah matahari, memahat kayu dengan kapak dan tatah. "Mereka disebut panrita lopi," kata Mbak Keiza.