Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kembali ke Awal Abad XXI di XXI

7 Oktober 2025   07:17 Diperbarui: 7 Oktober 2025   07:17 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grand Theatre : skrinsyut 

Ada sesuatu yang pelan menyusup di dada ketika nama itu muncul lagi: Rangga dan Cinta. Dua nama yang pernah menjadi gema bagi generasi yang mengalami masa remaja di awal abad XXI. Tapi kali ini, keduanya datang bukan untuk mengulang, melainkan menafsir ulang.

Film "Rangga & Cinta" disutradarai Riri Riza, diproduksi Mira Lesmana lewat Miles Films, dan ditulis bersama Titien Wattimena. Rilis di Indonesia pada 2 Oktober 2025, film ini lebih bukan  kelanjutan Ada Apa dengan Cinta --- ia adalah percakapan baru dengan kenangan lama. Sebuah tafsir ulang dalam bentuk film musikal remaja berlatar 2001, ketika dunia masih setia pada kaset, buku catatan, dan tatapan langsung di antara bangku sekolah.
Yang tampil kali ini bukan Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo, melainkan El Putra Sarira sebagai Rangga dan Leya Princy sebagai Cinta. Wajah baru, tapi dengan roh yang sama: keheningan yang ingin dimengerti dan keberanian untuk bicara lewat kata. Di sekitar mereka ada Jasmine Nadya, Katyana Mawira, Kyandra Sembel, Daniella Tumiwa, dan Rafly Altama --- sekelompok pemain muda yang tampak nyaman menapaki peran yang dulu pernah menjadi ikon.
Riri tidak membuat ulang film lama. Ia menolak nostalgia murahan. Ia memilih untuk menoleh ke belakang hanya secukupnya --- seperti orang yang membuka album foto, bukan untuk menyesali waktu, tapi untuk mengingat betapa cepatnya ia berlalu.
Menonton film ini terasa seperti menghadiri undangan untuk duduk sebentar di bangku kayu sekolah, sambil mendengar lagi degup lagu yang dulu pernah ada.

Rangga & Cinta : dokpri es 
Rangga & Cinta : dokpri es 

Musik kembali menjadi denyut utama. Melly Goeslaw dan Anto Hoed menulis lagu-lagu baru yang tetap berakar pada jiwa lama AADC: lembut, jujur, dan liris. Tapi kali ini, musik bukan hanya sisipan --- ia menjadi bagian dari cara tokoh-tokohnya menafsirkan emosi. Bukan nyanyian teatrikal, tapi aliran kata yang keluar ketika kata-kata biasa sudah tak cukup.
Tata sinematografi oleh Vera Lestafa terasa realis dan bersih, sementara Aline Jusria merangkai ritme yang tidak terburu-buru. Tidak ada upaya untuk mengejar drama besar; justru di situlah letak kekuatannya. Film ini tidak hendak membuat kita menangis, tapi ingin membuat kita berhenti sejenak dan mengenali diri sendiri dalam keheningan Rangga dan tatapan Cinta.
Menonton Rangga & Cinta seperti menyeberang kembali ke awal 2000-an. Masa ketika kita masih tahu bau tinta majalah sekolah, ketika telepon umum di depan pasar masih ramai, ketika anak-anak sekolah menunggu Metro Mini. Tidak semua orang pernah bertemu Cinta atau Rangga, tapi hampir semua pernah merasakan yang mereka alami: perasaan ingin dimengerti tapi takut terlihat rapuh.
Film ini berangkat dari ide sederhana: bagaimana rasanya tumbuh di masa yang masih lambat, dan bagaimana cinta muda menemukan bentuknya tanpa bantuan layar digital. Tidak ada notifikasi, tidak ada unggahan --- hanya tatapan, jarak, dan waktu yang berjalan sebagaimana mestinya.

Yang menarik, Rangga & Cinta tidak berpretensi jadi legenda. Ia berdiri di tengah-tengah, antara kenangan dan penemuan. Antara kita yang dulu menonton AADC di bioskop Grand, dan mereka yang kini menonton di studio modern dengan kursi empuk dan suara digital. Tapi esensinya tetap sama: tentang seseorang yang sulit membuka diri, dan seseorang yang berani mengetuk.
Salah satu hal paling tulus dari film ini adalah keberaniannya untuk sederhana. Tidak ada plot berlapis-lapis, tidak ada drama besar. Ia hanya menunjukkan dua orang yang belajar bicara, belajar mendengar, dan belajar kehilangan. Riri tahu betul, dalam kisah cinta, kadang yang paling indah justru adalah yang tak selesai.

Bagi yang pernah hidup di masa itu, menonton film ini seperti pulang sebentar --- bukan ke rumah, tapi ke suasana. Ke depan Grand Theatre,  ke toko buku bekas di Kwitang, ke suara kaset yang seret diputar ulang. Semua itu seolah hadir di pinggiran cerita, bukan karena ditampilkan di layar, tapi karena kita membawanya sendiri dalam ingatan.

Mira Lesmana dan Riri Riza sudah dua dekade lebih menemani perjalanan sinema Indonesia, dan Rangga & Cinta terasa seperti catatan kecil dari keduanya: bahwa film tidak harus terus berlari. Kadang ia cukup berjalan, memanggil kita perlahan, dan berkata --- lihatlah, masa muda itu belum benar-benar pergi.
Tidak semua generasi baru akan memahami lapisan nostalgia ini. Tapi bagi yang dulu menunggu Rangga di bandara, atau menyimpan potongan puisi di belakang buku tulis, film ini seperti salam yang datang dari masa lalu --- lembut, tak berisik, tapi penuh makna.
Dan ketika layar akhirnya gelap, kita tahu bahwa yang tersisa bukan sekadar kisah cinta dua remaja. Tapi juga perjalanan waktu, yang diam-diam membuat kita sadar: kita sudah jauh berjalan, tapi hati manusia rupanya tak pernah terlalu berubah.

Rangga & Cinta (2025) bukan film yang ingin mengulang keajaiban AADC, melainkan film yang ingin mengingatkan bahwa keajaiban itu pernah ada, dan kini ia tumbuh dengan caranya sendiri.
Mungkin karena itu, Rangga & Cinta bukan cuma film, tapi semacam surat dari masa lalu. Ia tidak minta dibalas, hanya ingin dibaca perlahan. Di dalamnya, kita seperti menemukan diri sendiri: pernah muda, pernah bingung, pernah menunggu seseorang yang tak kunjung datang --- lalu diam-diam bersyukur karena waktu akhirnya menuntun kita ke tempat lain.
Saya menontonnya dan teringat aroma aspal hangat di depan bioskop Grand Theatre, suara Metro Mini yang serak tapi akrab, dan toko buku bekas di Kwitang yang dulu jadi tempat mencari kata "cinta" di antara halaman puisi murah. Semua itu sudah berubah sekarang, tapi rasa di dada itu, entah mengapa, masih sama.

Film ini tidak ingin membuat kita menyesal, tapi mengingatkan: yang berharga dari masa muda bukan siapa yang kita cintai, melainkan bagaimana kita mencintai. Rangga dan Cinta hanya tokoh; tapi di balik layar, kita semua pernah jadi mereka --- mencari kalimat yang pas untuk menutup surat yang tak pernah terkirim.
Dan ketika lampu bioskop menyala, orang-orang mulai keluar, saya mendadak terdiam. Rasanya seperti baru selesai berbincang dengan teman lama yang dulu sempat hilang kabar. Ia tidak datang untuk meminta maaf atau mengulang cerita, hanya ingin berkata pelan:
"Aku masih di sini, kalau kau ingin mengingat lagi."

Serasa kembali ke awal abad XXI, kali ini di bioskop XXI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun