Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Dari Batan Bekul Hingga Rumah Tepi Pantai

6 Oktober 2025   09:32 Diperbarui: 6 Oktober 2025   17:08 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang reuni paling berkesan justru bukan yang direncanakan dengan matang. Tidak ada undangan resmi, tidak ada rundown, bahkan tidak ada dress code. Hanya kabar singkat di grup WhatsApp, lalu sebuah siang di Bali yang tiba-tiba mempertemukan wajah-wajah lama yang dulu pernah berbagi masa.
Begitulah reuni kecil para eks CX di Tanjung Benoa ini lahir --- mendadak, sederhana, tapi hangatnya terasa sampai jauh setelah pulang.

Perjalanan Menuju Batan Bekul

Saya dan istri dijemput langsung oleh Pak Anthony dan Bu Dhani di hotel. Seperti dulu, Pak Anthony tetap saja punya aura pemimpin yang tenang, tapi kali ini lebih santai --- tak lagi sibuk mengatur, hanya tersenyum dan bercerita sepanjang jalan.

Mobil melaju pelan melewati kawasan Nusa Dua yang tertata rapi. Di pos penjagaan, seorang satpam menghentikan kami dengan sopan.
"Mau ke mana, Pak?" tanyanya.
"Bali Connection," jawab Pak Anthony santai.

Kami semua tertawa. Entah kenapa, jawaban sederhana itu seperti membuka lembar nostalgia --- mengingatkan masa-masa ketika semua masalah bisa cair hanya karena humor ringan di tengah tekanan kerja.

Batan bekul: dokpri 
Batan bekul: dokpri 


Udara siang itu terasa lembut. Dari jendela, hamparan langit biru dan aroma laut memberi kesan damai. Kami tiba sekitar pukul dua belas tepat di Ikan Bakar Batan Bekul, rumah makan sederhana di pinggir jalan Tanjung Benoa yang tidak sepopuler restoran seafood di Jimbaran, tapi justru menyimpan pesona keaslian Bali yang sulit ditemukan di tempat lain.

Meja Panjang, Keripik Singkong, dan Aroma Laut

Batan Bekul tidak besar, tapi auranya langsung membuat betah. Dinding bambu, atap rumbia, meja kayu panjang, dan angin sepoi yang menyelusup di antara sela-sela daun.

Sambil menunggu makanan disiapkan, Bu Dhani memesan keripik singkong yang gurih. Untuk minuman, saya dan beberapa rekan memesan kelapa muda yang segar.

Satu per satu teman lama mulai berdatangan. Juliet muncul lebih dulu tanpa Heru, yang kali ini tidak bisa ikut. Lalu hadir Regina dan Wayan, disusul beberapa rekan lain yang lebih muda seperti Icha, Iwan, dan Tini. Sebagian besar kini bekerja di Bali. Saya tak sempat mengingat semua nama, tapi kehadiran mereka membuat suasana tambah hidup --- seolah jarak usia tak berarti apa-apa di tengah tawa yang sama.

Ikan: dokpri 
Ikan: dokpri 


Hidangan mulai berdatangan: ikan bakar bumbu kuning, udang bakar rempah, kerang saus merah, dan tentu saja plecing kangkung --- pedasnya mantap, segarnya luar biasa.

"Ini baru plecing asli Bali," kata Bu Dhani sambil tersenyum puas.  Bu Dhani juga bercerita bahwa da mengenal pemilik Warung ini sejak llama. 

Lezat: 
Lezat: 

"Bumbunya terasa banget, nggak tanggung-tanggung," sahut Juliet.


Kami semua mengangguk. Tidak ada yang membantah, karena memang itulah kebenarannya. Bumbu di sini terasa jujur --- tidak dikurangi demi selera wisatawan, tidak dilembutkan agar "ramah lidah," tapi tetap mempertahankan karakter Bali yang pedas, segar, dan berani.

Tentu saja ada sambal terasi yang tajam, nasi putih hangat yang tandas dalam sekejap, dan suara gelak tawa yang seolah menggantikan musik latar. Kami makan tanpa banyak aturan, saling suap cerita, saling goda masa lalu, sambil menyeruput air kelapa muda yang dinginnya pas untuk siang panas.

Imelda yang Datang Terlambat tapi Justru Mentraktir

Tengah kami asyik bercakap dan menambah nasi, datanglah Imelda --- dengan langkah tergesa tapi wajah lega.
"Aduh, sempat nyasar tadi!" katanya sambil tertawa, napasnya masih tersengal sedikit.
Kami menyambut dengan tepuk tangan dan tawa. "Yang penting sampai, Mel!" ujar Pak Anthony.

Meski datang paling akhir, Imelda justru membawa kejutan kecil. Ketika kami hendak membayar, pelayan berkata bahwa transaksi bisa dilakukan lewat QRIS, dan Imelda langsung mengeluarkan ponselnya.
"Anggap aja traktiran kecil dari yang paling telat," katanya sambil tersenyum.

Kerang: dokpri 
Kerang: dokpri 


Kami semua tertawa. Bukan soal siapa yang membayar, tapi karena momen itu begitu spontan --- seperti masa lalu kami, penuh kehangatan sederhana yang tak bisa dibeli. Imelda memang kebetulan sedang berada di Bali, tanpa janji akan datang, tapi ternyata justru jadi bintang kecil sore itu.

Obrolan Lintas Zaman

Di sela-sela makanan, obrolan melintasi waktu: dari kisah kantor di tahun 1980-an, perjalanan dinas ke luar negeri, hingga cerita keluarga masing-masing. Ada yang kini sudah punya cucu, ada yang masih aktif bekerja, dan ada pula yang mulai menikmati masa tenang di rumah.

Tapi semuanya masih punya semangat yang sama --- rasa ingin tahu, rasa humor, dan tentu saja rasa sayang terhadap kenangan lama.

Satu hal yang terasa kuat di antara semua itu adalah kesadaran bahwa perjalanan hidup memang tak bisa ditebak. Dalam pertemuan seperti ini, semua perbedaan melebur. Yang dulu atasan kini bisa bercanda dengan mantan staf tanpa jarak; yang dulu pemalu kini paling cerewet. Mungkin inilah keajaiban reuni yang tidak resmi --- tanpa struktur, tapi penuh makna.

Foto bersama: dokpri 
Foto bersama: dokpri 

Sebelum beranjak dari meja makan, saya sempat bertanya pelan kepada Bu Dhani, "Apa arti  Batan Bekul?" Bu Dhani tersenyum, lalu menjawab, bahwa dalam bahasa Bali, batan itu artinya batang, dan bekul itu melengkung atau padat --- semacam batang yang kuat tapi lentur.  Saya mengangguk, membayangkan pohon tua di tepi sawah yang tetap berdiri meski diterpa angin. 

Mungkin maksud peniliknya adalah bahwa makanan  di sini tetap asli, kuat  cita rasa  Bali, tapi bisa menyesuaikan lidah siapa saja.

Batan bekul: dokpri 
Batan bekul: dokpri 


Rumah di Tepi Pantai

Setelah makan siang selesai, sekitar pukul tiga sore, Pak Anthony mengajak kami mampir ke rumahnya.
"Dekat kok, cuma di gang sebelah. Ayo sebentar aja, ngopi dulu," katanya.

Mobil kami berbelok ke gang kecil yang nyaris tak terlihat dari jalan besar. "Gang-nya sempit, tapi asyik," kata Imelda sambil berhati-hati mengemudi.
Dan benar --- di ujung gang itu, di sisi kiri, berdiri sebuah rumah cantik dengan arsitektur Bali yang elegan. Dinding batu padas, ukiran kayu, halaman rapi, dan aroma angin laut menyebar lembut di udara Tanjung Benoa.

Rumah Tepi pantai: dokpri 
Rumah Tepi pantai: dokpri 


"Selamat datang," sambut Bu Dhani hangat. Ia sudah menyiapkan onde-onde hangat dan air mineral dingin. Tidak ada jamuan mewah, tapi semua terasa pas. Kami duduk di teras belakang menghadap kolam renang kecil, tempat air berkilau memantulkan cahaya sore. Dari kejauhan, suara ombak di pantai terdengar samar --- seolah alam ikut merayakan reuni kecil kami.

Pak Anthony bercerita bahwa tanah itu ia beli lebih dari tiga puluh tahun lalu.
"Waktu itu masih sepi, dan harganya pun masih murah," ujarnya sambil tersenyum.
Ia juga menuturkan kisah anak-anaknya yang kini bekerja di mancanegara, bahkan salah satunya berkarier di sebuah maskapai Timur Tengah ternama.

Obrolan berlanjut, kali ini lebih santai. Tentang anak-anak yang sudah dewasa, tentang dunia kerja yang berubah cepat, hingga soal banjir yang belum lama ini melanda Bali.

Imelda bercerita bagaimana hidup di Bogor membuatnya lebih menghargai udara tropis Bali. Regina menimpali dengan kisah lucu tentang upayanya "mencari menantu." Saya dan istri hanya sesekali menimpali, menikmati suasana yang nyaris seperti sore bersama keluarga.

Pulang dengan Rasa Syukur

Menjelang pukul lima sore, matahari mulai condong ke barat. Kami pamit perlahan.
"Lain kali kita buat yang resmi ya," kata Bu Dhani sambil tersenyum.
"Resmi atau enggak, yang penting ketemu lagi," jawab Regina, disambut anggukan dan tawa semua orang.

Kami --- saya, istri, Imelda, dan Juliet --- akhirnya pulang bersama. Mobil meluncur keluar dari gang kecil itu, melewati jalanan di kawasan Tanjung Benoa dan Nusa Dua. Angin laut menampar lembut kaca jendela, membawa sisa aroma sambal dan ikan bakar dari makan siang tadi.

Saya menoleh ke belakang, melihat rumah Pak Anthony dan Bu Dhani yang semakin jauh. Ada rasa haru yang tenang --- semacam kesadaran bahwa di balik semua perubahan zaman, hal-hal seperti ini masih bisa terjadi: pertemuan tanpa rencana, tawa tanpa alasan, dan rasa syukur tanpa kata.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, saya terdiam sejenak. Rasanya seperti baru menutup bab lama yang pernah tertunda, tapi kini terselesaikan dengan cara paling hangat.

Barangkali itulah hakikat reuni sebenarnya: bukan sekadar mengenang masa lalu, tapi tentang menyadari bahwa kita masih di sini --- masih bisa tertawa, masih bisa berbagi meja, dan masih bisa berkata "sampai jumpa lagi" dengan hati yang penuh.

Dan kalau nanti ada yang bertanya, di mana reuni paling hangat pernah terjadi, saya akan menjawab tanpa ragu:
di sebuah rumah makan sederhana bernama Batan Bekul, di tepi Tanjung Benoa --- tempat di mana rasa sambal, kelapa muda, dan tawa lama berpadu jadi satu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun