Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Dari Batan Bekul Hingga Rumah Tepi Pantai

6 Oktober 2025   09:32 Diperbarui: 6 Oktober 2025   17:08 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah makan siang selesai, sekitar pukul tiga sore, Pak Anthony mengajak kami mampir ke rumahnya.
"Dekat kok, cuma di gang sebelah. Ayo sebentar aja, ngopi dulu," katanya.

Mobil kami berbelok ke gang kecil yang nyaris tak terlihat dari jalan besar. "Gang-nya sempit, tapi asyik," kata Imelda sambil berhati-hati mengemudi.
Dan benar --- di ujung gang itu, di sisi kiri, berdiri sebuah rumah cantik dengan arsitektur Bali yang elegan. Dinding batu padas, ukiran kayu, halaman rapi, dan aroma angin laut menyebar lembut di udara Tanjung Benoa.

Rumah Tepi pantai: dokpri 
Rumah Tepi pantai: dokpri 


"Selamat datang," sambut Bu Dhani hangat. Ia sudah menyiapkan onde-onde hangat dan air mineral dingin. Tidak ada jamuan mewah, tapi semua terasa pas. Kami duduk di teras belakang menghadap kolam renang kecil, tempat air berkilau memantulkan cahaya sore. Dari kejauhan, suara ombak di pantai terdengar samar --- seolah alam ikut merayakan reuni kecil kami.

Pak Anthony bercerita bahwa tanah itu ia beli lebih dari tiga puluh tahun lalu.
"Waktu itu masih sepi, dan harganya pun masih murah," ujarnya sambil tersenyum.
Ia juga menuturkan kisah anak-anaknya yang kini bekerja di mancanegara, bahkan salah satunya berkarier di sebuah maskapai Timur Tengah ternama.

Obrolan berlanjut, kali ini lebih santai. Tentang anak-anak yang sudah dewasa, tentang dunia kerja yang berubah cepat, hingga soal banjir yang belum lama ini melanda Bali.

Imelda bercerita bagaimana hidup di Bogor membuatnya lebih menghargai udara tropis Bali. Regina menimpali dengan kisah lucu tentang upayanya "mencari menantu." Saya dan istri hanya sesekali menimpali, menikmati suasana yang nyaris seperti sore bersama keluarga.

Pulang dengan Rasa Syukur

Menjelang pukul lima sore, matahari mulai condong ke barat. Kami pamit perlahan.
"Lain kali kita buat yang resmi ya," kata Bu Dhani sambil tersenyum.
"Resmi atau enggak, yang penting ketemu lagi," jawab Regina, disambut anggukan dan tawa semua orang.

Kami --- saya, istri, Imelda, dan Juliet --- akhirnya pulang bersama. Mobil meluncur keluar dari gang kecil itu, melewati jalanan di kawasan Tanjung Benoa dan Nusa Dua. Angin laut menampar lembut kaca jendela, membawa sisa aroma sambal dan ikan bakar dari makan siang tadi.

Saya menoleh ke belakang, melihat rumah Pak Anthony dan Bu Dhani yang semakin jauh. Ada rasa haru yang tenang --- semacam kesadaran bahwa di balik semua perubahan zaman, hal-hal seperti ini masih bisa terjadi: pertemuan tanpa rencana, tawa tanpa alasan, dan rasa syukur tanpa kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun