Satu per satu teman lama mulai berdatangan. Juliet muncul lebih dulu tanpa Heru, yang kali ini tidak bisa ikut. Lalu hadir Regina dan Wayan, disusul beberapa rekan lain yang lebih muda seperti Icha, Iwan, dan Tini. Sebagian besar kini bekerja di Bali. Saya tak sempat mengingat semua nama, tapi kehadiran mereka membuat suasana tambah hidup --- seolah jarak usia tak berarti apa-apa di tengah tawa yang sama.
Hidangan mulai berdatangan: ikan bakar bumbu kuning, udang bakar rempah, kerang saus merah, dan tentu saja plecing kangkung --- pedasnya mantap, segarnya luar biasa.
"Ini baru plecing asli Bali," kata Bu Dhani sambil tersenyum puas. Bu Dhani juga bercerita bahwa da mengenal pemilik Warung ini sejak llama.
"Bumbunya terasa banget, nggak tanggung-tanggung," sahut Juliet.
Kami semua mengangguk. Tidak ada yang membantah, karena memang itulah kebenarannya. Bumbu di sini terasa jujur --- tidak dikurangi demi selera wisatawan, tidak dilembutkan agar "ramah lidah," tapi tetap mempertahankan karakter Bali yang pedas, segar, dan berani.
Tentu saja ada sambal terasi yang tajam, nasi putih hangat yang tandas dalam sekejap, dan suara gelak tawa yang seolah menggantikan musik latar. Kami makan tanpa banyak aturan, saling suap cerita, saling goda masa lalu, sambil menyeruput air kelapa muda yang dinginnya pas untuk siang panas.
Imelda yang Datang Terlambat tapi Justru Mentraktir
Tengah kami asyik bercakap dan menambah nasi, datanglah Imelda --- dengan langkah tergesa tapi wajah lega.
"Aduh, sempat nyasar tadi!" katanya sambil tertawa, napasnya masih tersengal sedikit.
Kami menyambut dengan tepuk tangan dan tawa. "Yang penting sampai, Mel!" ujar Pak Anthony.
Meski datang paling akhir, Imelda justru membawa kejutan kecil. Ketika kami hendak membayar, pelayan berkata bahwa transaksi bisa dilakukan lewat QRIS, dan Imelda langsung mengeluarkan ponselnya.
"Anggap aja traktiran kecil dari yang paling telat," katanya sambil tersenyum.