Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Taman Ayun dan Simbol Kosmis yang Tersembunyi

30 September 2025   08:52 Diperbarui: 30 September 2025   14:21 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama. (Dokumentasi Pribadi)

Ada satu momen yang selalu melekat dalam setiap perjalanan bersama rombongan besar: ketika bus berhenti, pintu terbuka, dan kami turun bersama-sama dengan rasa penasaran bercampur kegembiraan. 

Minggu siang itu, konvoi delegasi IATP dari berbagai penjuru dunia beriringan menuju Pura Taman Ayun di Mengwi, Badung. Dari kawasan Nusa Dua, sebanyak 29 bus berangkat, dan saya kebetulan berada di bus nomor 14 bersama beberapa teman dan kolega lama.

Kain Sarung, selendang & udeng. (Dokumentasi Pribadi)
Kain Sarung, selendang & udeng. (Dokumentasi Pribadi)

"Perjalanan ke Taman Ayun sekitar satu setengah sampai dua jam," ujar pemandu wisata kami, seorang lelaki ramah berusia tiga puluhan yang mengenakan kain sarung dan udeng khas Bali. Sebut saja namanya Wayan.

Wayan menjelaskan bahwa makan siang dalam kotak telah disiapkan untuk dinikmati di perjalanan. Sekitar pukul dua siang, konvoi bus akhirnya tiba di Taman Ayun. 

Sebelum masuk, kami dibagikan kain warna cokelat dan selendang merah yang wajib dikenakan. Wayan memperhatikan cara kami memakainya, bahkan sempat membantu saya mengikat selendang agar rapi. Selain itu, kami juga mengenakan udeng kuning-hitam, ikat kepala tradisional Bali.

Di depan pintu masuk, kami berfoto bersama dengan busana ini. Ada rasa haru terselip di balik senyum, karena kunjungan ke pura bukan sekadar jalan-jalan, melainkan perjumpaan dengan sebuah tradisi panjang yang dijaga berabad-abad.

Taman Ayun dibangun pada abad ke-17 oleh Raja Mengwi, I Gusti Agung Putu. Nama "Taman Ayun" berarti "taman yang indah", sebuah simbol keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Hyang Widhi. Luasnya mencapai tujuh hektar, dikelilingi parit besar bak benteng istana di Eropa. Namun parit ini bukan sekadar hiasan. 

Menurut Wayan, ia melambangkan samudra kosmik, sementara pura di tengahnya ibarat Gunung Meru---pusat alam semesta dalam kosmologi Hindu Bali.

Candi bentar dan wantilan. (Dokumentasi Pribadi)
Candi bentar dan wantilan. (Dokumentasi Pribadi)

Langkah Pertama: Menyusuri Gerbang dan Wantilan

Kami mulai masuk melalui Candi Bentar, gerbang megah yang terbuka seperti dua tangan yang menyambut. Suara gamelan terdengar samar, bercampur kicau burung dari pepohonan.

Di sisi kanan tampak bangunan tanpa dinding dengan atap ijuk bersusun. "Ini wantilan," jelas Wayan. Pendopo tradisional ini menjadi balai pertemuan dan tempat pementasan gamelan. Bagian lantainya sedikit lebih rendah di tengah---dahulu dipakai untuk sabung ayam, sebuah tradisi lama masyarakat Bali.

Saya tertegun sejenak. Suasana pura, suara gamelan, dan aroma bunga membuat langkah terasa seperti melintasi batas dunia: dari kehidupan sehari-hari menuju ruang sakral.
Sejarah dan Jejak Kerajaan Mengwi.

Perjalanan berlanjut ke sebuah bale beratap ilalang, dihiasi janur dan bunga besar di depannya. Di dalamnya tersusun meja-meja berlapis kain putih dan pajangan foto, menandakan adanya acara budaya. Di luar, pepohonan rimbun meneduhkan suasana.

Barong Festival. (Dokumentasi Pribadi)
Barong Festival. (Dokumentasi Pribadi)

Sebuah poster besar menarik perhatian saya: Taman Ayun Barong Festival 27--28 September 2025, Regeneration & Superstar. Di dekatnya, poster lain bertuliskan Art Exhibition: Into the Heart of Heritage, berlokasi di Madya Mandala. Wayan lalu menjelaskan, sebuah pura suci di Bali memiliki tiga tingkatan: Nista Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala.

Heritage. (Dokumentasi Pribadi)
Heritage. (Dokumentasi Pribadi)

Menyusuri sisi barat, saya melihat pura utama dengan bangunan meru---menara suci bertingkat---berdiri anggun. Atap-atapnya yang bersusun seolah menggapai langit, menghadirkan pesona yang sulit dilupakan.

Pertunjukan Tari Barong

Rombongan kami diarahkan ke panggung terbuka di dekat Candi Bentar. Kursi-kursi sudah tertata rapi. Tak lama, seorang penari dengan kostum Barong muncul. Bulu dan ornamen emasnya berkilau tertimpa cahaya sore. Gamelan mengiringi setiap gerakannya.

Barong, simbol kebaikan, dalam tarian ini berhadapan dengan Rangda yang melambangkan kejahatan. Wayan menjelaskan singkat, "Pertarungan ini tidak pernah selesai. Tidak ada yang benar-benar menang, karena keseimbangan itulah inti kehidupan."

Kursi untuk tari barong. (Dokumentasi Pribadi)
Kursi untuk tari barong. (Dokumentasi Pribadi)

Saya merenung. Benar juga, dalam hidup modern pun kebaikan dan keburukan hadir berdampingan. Tari Barong seperti mengingatkan, tugas manusia bukan menghapus salah satunya, melainkan menjaga keseimbangan.

Jalan-Jalan Bebas: Kolam, Bale Kul-kul, dan Candi Bentara

Usai pertunjukan, kami diberi waktu sekitar setengah jam untuk menjelajah. Saya berjalan melewati kolam penuh teratai yang memantulkan bayangan pura, lalu berhenti di depan Bale Kul-kul.

Kul-kul adalah kentongan tradisional Bali, dengan berbagai ukuran dan fungsi. Ada yang kecil untuk memanggil warga, ada pula yang besar sebagai tanda bahaya atau upacara. "Suara kul-kul adalah suara desa," kata Wayan. Ia bukan sekadar alat, tapi simbol harmoni: memanggil warga untuk gotong royong, sembahyang, hingga menghadapi bencana.

Persiapan Barong. (Dokumentasi Pribadi)
Persiapan Barong. (Dokumentasi Pribadi)

Di kejauhan, Bentar berdiri gagah dengan relief-detail rumit. Rasanya setiap lekukan batu itu menyimpan kisah panjang yang hanya bisa dibaca dengan hati.

Menyerap Suasana, Menangkap Momen

Menjelang pukul setengah empat, saya menyusuri jalan setapak di tepi parit. Bayangan pepohonan jatuh di permukaan air. Beberapa anak kecil berlarian sambil tertawa, sementara wisatawan lain sibuk berfoto.

Saya memilih duduk di bangku kayu, menghirup udara, mendengar desir angin di antara dedaunan. Pura ini terasa bukan sekadar objek wisata, melainkan ruang meditasi. Raja-raja sudah lama tiada, namun Taman Ayun tetap berdiri, menjaga denyut spiritual masyarakat Bali.

Meru. (Dokumentasi Pribadi)
Meru. (Dokumentasi Pribadi)

Sebelum berkumpul kembali, saya sempat bertanya pada Wayan, "Bagaimana perasaan masyarakat Bali ketika pura seperti ini ramai dikunjungi wisatawan?"

Wayan tersenyum. "Kami senang budaya kami dikenal, tapi kami juga sadar harus menjaga kesakralannya. Wisata boleh, tapi pura tetap tempat suci. Karena itu, ada aturan memakai sarung, selendang, dan udeng. Itu cara kami mengingatkan, bahwa di balik keindahan ada kesakralan."

Jawaban itu membuat saya termenung. Taman Ayun bukan sekadar indah, ia juga guru yang mengajarkan rasa hormat.

Kembali ke Bus 14

Sekitar pukul 3.30. Kami berkumpul kembali menuju bus, melepas selendang dan sarung dengan hati-hati sebelum naik ke bus. Suasana riuh kembali, ada yang membicarakan tarian, ada yang sibuk membandingkan foto, ada pula yang diam menyimpan kesan.

Perjalanan ini ternyata lebih dari sekadar wisata. Ia adalah perjalanan batin, tempat kita belajar bahwa sejarah, budaya, dan spiritualitas bisa menyatu dalam pengalaman.

Foto bersama. (Dokumentasi Pribadi)
Foto bersama. (Dokumentasi Pribadi)

Refleksi Akhir

Dalam perjalanan menuju Tanah Lot, saya memandang sawah hijau dan rumah tradisional Bali dari balik jendela bus. Bayangan Taman Ayun masih kuat di kepala: parit yang tenang, candi bentar yang megah, wantilan yang penuh sejarah, tarian Barong yang menggetarkan, hingga suara kul-kul yang menyatukan warga.

Saya sadar, kunjungan ini bukan hanya tentang mengenal Bali, tetapi juga tentang mengenal diri sendiri. Bahwa hidup selalu berada di antara dharma dan adharma, tradisi dan modernitas, kesibukan dan keheningan.

Taman Ayun seakan berbisik: jangan lupa menjaga keseimbangan. Dan mungkin, itulah oleh-oleh paling indah dari sebuah perjalanan---bukan hanya foto, melainkan hikmah yang menetap lama di hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun