Sebelum berkumpul kembali, saya sempat bertanya pada Wayan, "Bagaimana perasaan masyarakat Bali ketika pura seperti ini ramai dikunjungi wisatawan?"
Wayan tersenyum. "Kami senang budaya kami dikenal, tapi kami juga sadar harus menjaga kesakralannya. Wisata boleh, tapi pura tetap tempat suci. Karena itu, ada aturan memakai sarung, selendang, dan udeng. Itu cara kami mengingatkan, bahwa di balik keindahan ada kesakralan."
Jawaban itu membuat saya termenung. Taman Ayun bukan sekadar indah, ia juga guru yang mengajarkan rasa hormat.
Kembali ke Bus 14
Sekitar pukul 3.30. Kami berkumpul kembali menuju bus, melepas selendang dan sarung dengan hati-hati sebelum naik ke bus. Suasana riuh kembali, ada yang membicarakan tarian, ada yang sibuk membandingkan foto, ada pula yang diam menyimpan kesan.
Perjalanan ini ternyata lebih dari sekadar wisata. Ia adalah perjalanan batin, tempat kita belajar bahwa sejarah, budaya, dan spiritualitas bisa menyatu dalam pengalaman.
Refleksi Akhir
Dalam perjalanan menuju Tanah Lot, saya memandang sawah hijau dan rumah tradisional Bali dari balik jendela bus. Bayangan Taman Ayun masih kuat di kepala: parit yang tenang, candi bentar yang megah, wantilan yang penuh sejarah, tarian Barong yang menggetarkan, hingga suara kul-kul yang menyatukan warga.
Saya sadar, kunjungan ini bukan hanya tentang mengenal Bali, tetapi juga tentang mengenal diri sendiri. Bahwa hidup selalu berada di antara dharma dan adharma, tradisi dan modernitas, kesibukan dan keheningan.