Barong, simbol kebaikan, dalam tarian ini berhadapan dengan Rangda yang melambangkan kejahatan. Wayan menjelaskan singkat, "Pertarungan ini tidak pernah selesai. Tidak ada yang benar-benar menang, karena keseimbangan itulah inti kehidupan."
Saya merenung. Benar juga, dalam hidup modern pun kebaikan dan keburukan hadir berdampingan. Tari Barong seperti mengingatkan, tugas manusia bukan menghapus salah satunya, melainkan menjaga keseimbangan.
Jalan-Jalan Bebas: Kolam, Bale Kul-kul, dan Candi Bentara
Usai pertunjukan, kami diberi waktu sekitar setengah jam untuk menjelajah. Saya berjalan melewati kolam penuh teratai yang memantulkan bayangan pura, lalu berhenti di depan Bale Kul-kul.
Kul-kul adalah kentongan tradisional Bali, dengan berbagai ukuran dan fungsi. Ada yang kecil untuk memanggil warga, ada pula yang besar sebagai tanda bahaya atau upacara. "Suara kul-kul adalah suara desa," kata Wayan. Ia bukan sekadar alat, tapi simbol harmoni: memanggil warga untuk gotong royong, sembahyang, hingga menghadapi bencana.
Di kejauhan, Bentar berdiri gagah dengan relief-detail rumit. Rasanya setiap lekukan batu itu menyimpan kisah panjang yang hanya bisa dibaca dengan hati.
Menyerap Suasana, Menangkap Momen
Menjelang pukul setengah empat, saya menyusuri jalan setapak di tepi parit. Bayangan pepohonan jatuh di permukaan air. Beberapa anak kecil berlarian sambil tertawa, sementara wisatawan lain sibuk berfoto.
Saya memilih duduk di bangku kayu, menghirup udara, mendengar desir angin di antara dedaunan. Pura ini terasa bukan sekadar objek wisata, melainkan ruang meditasi. Raja-raja sudah lama tiada, namun Taman Ayun tetap berdiri, menjaga denyut spiritual masyarakat Bali.