Artikel 3
Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Global dan Refleksi untuk Indonesia
Kalau di dua artikel sebelumnya kita sudah membahas teori dasar dan praktik di Indonesia, kali ini kita coba melangkah keluar negeri. Bukan untuk membandingkan dengan rasa rendah diri, melainkan untuk belajar: apa yang bisa kita ambil dari pengalaman negara lain? Dan bagaimana refleksinya untuk kebijakan fiskal Indonesia ke depan?
Sebab, meski tiap negara punya kondisi unik, ada pola yang bisa dipelajari. Pajak dan belanja negara bukan hanya soal angka, melainkan cermin filosofi sebuah bangsa: apa yang dianggap penting, siapa yang dilindungi, dan bagaimana kesejahteraan dibagi. Mari kita mulai perjalanan ini.
Skandinavia: Pajak Tinggi, Jaminan Sosial Kuat
Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark sering disebut sebagai contoh welfare state sukses. Pajaknya tinggi---bahkan bisa mencapai 40--50% dari penghasilan. Namun masyarakat rela membayar karena merasa mendapatkan timbal balik: pendidikan gratis, kesehatan gratis, tunjangan pengangguran, hingga pensiun layak.
Di sini terlihat hubungan erat antara pajak dan kepercayaan publik. Warga membayar pajak karena percaya uang itu tidak bocor. Negara menggunakan belanja publik untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Refleksi untuk Indonesia: pajak tinggi mungkin sulit diterapkan karena kepercayaan publik pada pemerintah belum setinggi itu. Sebelum menaikkan pajak, pemerintah harus membuktikan dulu bahwa uang rakyat benar-benar digunakan untuk rakyat, bukan untuk belanja birokrasi yang boros.
Amerika Serikat: Pajak Rendah, Tanggung Jawab Individu
Sebaliknya, Amerika Serikat menganut sistem yang lebih liberal. Pajaknya relatif lebih rendah dibanding Eropa, tetapi jaminan sosial tidak sekuat Skandinavia. Kesehatan, misalnya, lebih banyak bergantung pada asuransi swasta. Pendidikan tinggi juga mahal.