Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ledok Sambi, Lembah Rancak di Kaliurang yang Masuknya Gratis

22 September 2025   19:26 Diperbarui: 22 September 2025   19:26 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir pekan selalu menjadi momen yang paling pas untuk melarikan diri sejenak dari rutinitas. Yogya, dengan segala kehangatan dan keintimannya, selalu punya cara memanggil orang-orang untuk kembali. Hari itu, tujuan kami sederhana: menghirup udara segar, menyusuri lembah, dan membiarkan diri hanyut oleh alam yang masih setia menunggu. Pilihan pun jatuh pada Ledok Sambi Ecopark, sebuah destinasi ekowisata yang belakangan sering diperbincangkan sebagai salah satu tempat rekreasi keluarga paling ramah di kawasan Kaliurang.

Peta lokasi di pintu masuk: dokpri 
Peta lokasi di pintu masuk: dokpri 

Setelah berkendara hampir satu jam dari pusat kota Yogya, kendaraan kamu tiba di Ledok Sambi, hanya beberapa menit sebelum pintu masuk kawasan Kaliurang .
Mendekati  kawasan parkir, tanda-tanda bahwa ini adalah akhir pekan langsung terasa. Barisan kendaraan terparkir rapi, mulai dari mobil keluarga hingga rombongan motor anak muda yang tampaknya sama-sama mencari udara segar. Meski ramai, suasana tetap terasa tertib karena banyak petugas yang mengatur parkir. Kami beruntung dapat tempat di dekat pintu masuk karena baru saja ada kendaraan yang keluar.

Pemandangan lembah: dokpri 
Pemandangan lembah: dokpri 

Sebelum masuk saya sejenak melihat-lihat suasana sekitar. Dari tepian area parkir ini, saya bisa melihat pemandangan hijau pepohonan dengan nuansa lembah yang mengundang rasa penasaran.
Dari Atas, Menatap Lembah
Ketika menoleh ke arah bawah, barulah jelas terlihat: Ledok Sambi memang terletak di sebuah lembah kecil. Dari ketinggian parkiran, kita bisa menyapu pandangan ke arah pepohonan bambu yang menjulang, aliran sungai yang berkilau diterpa cahaya matahari, serta bangunan-bangunan kecil beratap joglo yang menyatu dengan lanskap. Suasana pedesaan terasa begitu kental, seakan-akan kita baru saja melompat keluar dari hiruk pikuk kota. Belum lagi hawa udara yang sejuk membuat hati menjadi lebih riang dan girang.

Kotak sumbangan: dokpri 
Kotak sumbangan: dokpri 

Yang membuat hati lebih ringan: masuk ke area Ledok Sambi ternyata gratis. Tidak ada loket tiket resmi di pintu masuk. Sebagai gantinya, hanya tersedia sebuah kotak kecil untuk sumbangan sukarela. Sistem ini rasanya jarang ditemukan di tempat wisata masa kini, dan justru menunjukkan kepercayaan pengelola terhadap pengunjung. Tentu saja, kami dengan senang hati memasukkan sejumlah uang, bukan semata soal nominal, tapi sebagai bentuk dukungan agar tempat seperti ini tetap bisa dijaga dan dirawat.

Flying fox: dokpri 
Flying fox: dokpri 

Menuruni Tangga, Menyapa Keramaian
Dari area parkir menuju lembah di bawah, tersedia dua pilihan: menaiki wahana flying fox yang meluncur menyeberangi ruang terbuka dengan biaya Rp25.000, atau berjalan kaki melalui tangga yang cukup panjang. Bagi mereka yang ingin sedikit adrenalin, flying fox tentu menggiurkan. Tapi saya memilih jalan kaki. Tangga ini ramai dipenuhi keluarga dan rombongan anak-anak sekolah, suasana riuh rendah penuh tawa menyertai langkah-langkah menurun.

"Simpan tiketnya baik-baik, kalau sudah lima kali naik gratis sekali," demikian kata bapak petugas di flying fox sambil juga menjelaskan bahwa kapasitasnya adalah 300 kilogram, jadi yang bertubuh besar pun tidak usah khawatir naik ini.

Tangga : dokpri 
Tangga : dokpri 

Sesampainya di bawah, suasana semakin terasa hidup. Sebuah papan besar bertuliskan Ledok Sambi Ecopark menyambut kedatangan. Di sekitarnya berdiri bangunan sederhana yang berfungsi sebagai resto dan kafe. Dari sini aroma kopi dan makanan tradisional langsung tercium, menambah keakraban suasana. Sekilas anak-anak muda yang berpasangan dan keluarga dengan anak-anak kecil yang paling banyak di antara pengunjung.

Dilarang merokok dan cape: dokpri 
Dilarang merokok dan cape: dokpri 


Hal yang mengejutkan: di area terbuka ini terdapat aturan larangan merokok dan  vape. Sebuah aturan yang terasa progresif, mengingat banyak tempat wisata masih permisif terhadap asap rokok. Keputusan ini jelas membuat udara di lembah terasa lebih segar, dan pengunjung bisa lebih nyaman, terutama bagi keluarga yang membawa anak kecil.

Tiket terusan: dokpri 
Tiket terusan: dokpri 

Tiket Terusan dengan Banyak Pilihan
Tak jauh dari resto, terdapat meja kasir khusus untuk penjualan tiket terusan. Sebuah banner berwarna hijau toska berdiri di depannya, mempromosikan paket lengkap yang sedang diskon. Harga normal Rp115.000, tapi saat itu sedang promo Rp80.000 saja. Tiket terusan ini mencakup banyak wahana sekaligus: flying fox, gel gun, archery, e-scooter, hingga melukis.

Meskipun tidak membeli tiket, saya sempat memperhatikan bagaimana anak-anak dan remaja bersemangat memilih aktivitas mereka. Ada yang langsung mencoba memanah, ada pula yang berkeliling dengan e-scooter, sementara orang tua sibuk mendokumentasikan momen dengan kamera ponsel. Rasanya setiap sudut menawarkan hiburan, baik bagi yang aktif bergerak maupun mereka yang hanya ingin duduk menikmati kopi.

Sungai: dokpri 
Sungai: dokpri 

Sungai Jernih, Batu-Batu yang Mengundang
Namun daya tarik utama Ledok Sambi bukan sekadar wahana modern. Sungai kecil yang melintas di tengah lembah ini justru menjadi magnet utama. Airnya jernih, dangkal, dengan bebatuan besar yang menyembul di permukaan. Banyak pengunjung, terutama anak-anak, tampak riang bermain di sini. Ada yang sekadar berendam kaki, ada pula yang berlarian sambil ciprat-cipratan air. Emak-emak muda pun banyak yang asyik duduk-duduk di bebatuan sambil bermesin air yang dingin dan jernih. 

Melihatnya saja pun saya sudah merasa sedang dan turut bahagia.

Kedalaman sungai yang hanya sebatas betis orang dewasa membuatnya relatif aman. Sesekali, tawa pecah saat seseorang terpeleset oleh licinnya batu, tapi semua berakhir dengan canda. Di tepian, orang tua duduk di tikar, mengawasi sambil menikmati suasana. Saya pun ikut duduk sejenak, membiarkan kesejukan air menyentuh telapak kaki. Rasanya sederhana, tapi menenangkan.

Wahana : dokpri 
Wahana : dokpri 

Menyusuri Wahana Lain
Dari sungai, langkah saya terus membawa ke arah lain. Ada petunjuk jalan menuju area camping, paintball, hingga kayak/kano. Seakan Ledok Sambi ingin menegaskan bahwa ia bukan sekadar tempat singgah singkat, tapi juga ruang petualangan lengkap untuk yang ingin bermalam. Tenda-tenda tampak berjajar di sebuah lapangan luas, menunggu rombongan yang hendak menghabiskan malam di bawah bintang.

Wahana paintball juga tampak ramai. Rombongan remaja dengan seragam pelindung berlarian di antara rintangan, sorak sorai terdengar dari kejauhan. Sementara itu, di kolam yang tampak seperti kolam renang, beberapa pengunjung mencoba permainan air ringan. Meski bukan benar-benar untuk berenang, area ini menambah variasi aktivitas air di luar sungai.

Fasilitas yang Lengkap
Satu hal yang cukup saya kagumi adalah bagaimana pengelola menjaga fasilitas umum. Sebuah mushola tersedia dengan kondisi bersih, dilengkapi air yang mengalir lancar. Ini penting, mengingat banyak destinasi wisata sering mengabaikan detail seperti tempat ibadah dan kebersihan. Di sini, rasanya semua dibuat seimbang: bermain boleh, tapi kebutuhan dasar pengunjung juga terpenuhi.
Tak jauh dari mushola, terdapat kantin kopi yang bernama Kopi Ledok. Seperti oasis kecil, kantin ini menawarkan pilihan kopi lokal dan camilan ringan. Tempatnya sederhana, tapi justru memberi nuansa autentik. Sambil menyeruput segelas kopi hangat, pengunjung bisa menatap aliran sungai yang tak jauh dari pandangan.

Kopi Ledok: dokpri 
Kopi Ledok: dokpri 

Satu  Jam yang Menyegarkan
Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru sebentar duduk dan berjalan, tapi ternyata hampir satu  jam sudah berlalu. Ledok Sambi bukan tempat yang mewah atau penuh bangunan megah, tapi justru kesederhanaannya itulah yang membuatnya istimewa. Ia menawarkan paket lengkap: udara sejuk, aliran sungai, permainan modern, sekaligus ruang tenang untuk sekadar duduk bersama keluarga.

Bagi saya, kunjungan singkat itu sudah cukup untuk memberi energi baru. Akhirnya, kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke kawasan Kaliurang, yang jaraknya tak terlalu jauh. Tujuan utama adalah Telaga Putri  sambil mencari makan siang. Ledok Sambi hanya menjadi persinggahan singkat, tapi jejaknya cukup dalam. Ada rasa ingin kembali suatu hari nanti, mungkin untuk camping, atau sekadar duduk lebih lama di tepi sungai.

Mengunjungi tempat seperti Ledok Sambi membuat saya sadar bahwa wisata tak selalu soal destinasi besar dengan tiket mahal. Kadang, justru tempat sederhana dengan sistem donasi sukarela memberi kesan yang lebih membekas. Ada kepercayaan yang terjalin antara pengelola dan pengunjung, ada ruang kebersamaan yang lahir dari aktivitas sederhana, dan ada udara segar yang tak bisa dibeli di kota.
Ledok Sambi adalah contoh bagaimana alam, budaya lokal, dan inovasi wisata bisa bertemu dalam satu titik. Ia lembah kecil yang menyimpan kehangatan besar, dan barangkali, sebuah pengingat bahwa kebahagiaan tidak harus dicari jauh-jauh. Cukup duduk di pinggir sungai, biarkan air menyentuh kaki, dan lihat bagaimana tawa anak-anak memantul di udara. Itu saja sudah cukup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun