Bayangan di Balik Jepara
Angin laut Jepara berhembus lembut, membawa aroma asin yang bercampur wangi rempah dari kapal-kapal niaga yang bersandar di dermaga. Mas Karebet berdiri di bawah cahaya mentari sore yang mulai condong, memandang riuhnya pelabuhan. Kapal-kapal jung besar dengan layar putih seperti sayap raksasa berdiri gagah, menunggu perintah untuk berlayar membawa lada, pala, dan cengkih ke negeri-negeri jauh.
Di antara hiruk pikuk pedagang Arab, Gujarat, dan Tionghoa yang berseliweran, sebuah keheningan menyelinap ke hati Karebet. Ia tahu bahwa perintah Sultan untuk mengawal rombongan dagang bukan sekadar tugas biasa. Ada ujian terselubung di baliknya, ada mata yang mengintai, menunggu ia tergelincir.
"Adimas Karebet..." suara lembut memecah lamunannya. Nyai Retna Kencana berdiri tak jauh darinya, mengenakan kain halus berwarna hijau lumut dengan selendang tipis menjuntai di bahu. Cahaya senja memantul di mata Retna, membuatnya seolah memancarkan cahaya sendiri.
Karebet menunduk hormat. "Kanjeng Raden Ayu..." suaranya tenang, meski hatinya berdetak lebih cepat dari ombak yang berkejaran di laut.
Retna melangkah mendekat. "Aku mendengar dua orang prajuritmu tidak kembali bersama rombongan." Tatapannya tajam, seolah menembus segala lapisan rahasia.
Karebet menarik napas panjang. "Mereka mencoba mengkhianati titah Demak. Aku hanya mengingatkan, tanpa perlu mengorbankan nyawa."
Senyum tipis tersungging di bibir Retna. "Bijak. Tapi ingat, Demak adalah lautan dalam. Banyak ikan besar yang menganggapmu duri."
Ucapan itu bagai sembilu, menegaskan firasat Karebet sejak ia melangkah ke istana Demak. Ia bukan darah biru, hanya anak seorang petani Tingkir yang diberi kesempatan. Dan kesempatan selalu membawa iri, dengki, dan jebakan.
Matahari hampir tenggelam saat seorang abdi datang berlari, wajahnya tegang. "Kakang Tumenggung mengundang Paduka Jaka Karebet ke paseban dalam. Ada utusan dari Kudus."