Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Semalam di Yufuin, Gempa dan Dua Kali Makan Malam

4 September 2025   10:38 Diperbarui: 4 September 2025   10:38 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ikan di danau Kinrin: dokpri 
Ikan di danau Kinrin: dokpri 

Di seberang danau, ada sebuah bangunan bergaya klasik yang berada di seberang danau. Bangunan tersebut tampak seperti penginapan atau rumah besar dengan desain atap segitiga dan jendela lebar yang menghadap ke air, memberikan kesan elegan dan damai.
Di sekitar danau, pepohonan hijau rimbun menutupi lereng bukit yang menjulang di belakang, menciptakan latar alami yang sejuk. Cahaya matahari sore tampak menyinari bagian atas pepohonan, memberikan gradasi warna hijau keemasan yang menambah kesan hangat. Di bagian depan foto, terdapat bebatuan besar dan tumbuhan liar yang tumbuh di pinggir danau, serta sebuah saluran air kecil yang mengalir ke danau, menambah detail alami pada komposisi.
Sekitar 15 menit kami terpaku sejenak di sini, menikmati senja, menikmati Yufuin, meresapi keindahan alam pedalaman pulau Kyushu.

Tiba-tiba saya ingat ada lagi tempat menarik yang harus dikunjungi, yaitu Yufuin Floral Village, menurut peta di ponsel, letaknya hanya sekitar 500 meter atau 7 menit berjalan kaki. Melewati jalan jalan pedesaan Yufuin yang sepi kami  menuju ke sana. Tetapi semakin dekat jalan yang sudah sepi makin sepi, matahari makin tenggelam dan hanya menyisakan semburatnya yang berwarna lembayung.

Baru saya ingat, ini Yufuin, bukan Shibuya. Hampir semua tempat wisata di sini tutup sekitar pukul lima atau setengah enam. Jadi ketika saya datang, semua sudah berakhir. Pintu Floral Village tertutup rapat, meninggalkan papan pengumuman jam buka yang seolah berkata, "Anda  datang terlambat."
Kalau begitu kami akan datang besok pagi saja ke sini.
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat makan malam, atau seandainya bertemu taksi bisa kembali ke pusat kota di dekat stasiun.

Makan malam: dokpri 
Makan malam: dokpri 

Setelah berjalan sekitar 3-4 menit, akhirnya kami melihat sebuah restoran yang juga terlihat tidak ramai, namun ada tanda-tanda kehidupan. Namanya Yufumabushi Shin.Interiornya walau sederhana terasa berkelas, dominasi kayu, pencahayaan hangat, membuat kami merasa nyaman disini.
Kami masuk dan dipersilakan  duduk, beruntung pula ada salah seorang karyawati lumayan fasih bahasa Inggris sehingga bisa merekomendasikan  menu yang pas buat selera.  Sebenarnya resto ini terkenal dengan menu hitsumabushi---belut panggang khas Oita yang disajikan dengan nasi panas. Tapi saya lebih suka ikan bakar dan memesan ikan buri atau ekor kuning.

Pesanan datang. Sebuah nampan kayu dengan potongan ikan panggang yang harum, nasi putih yang mengepul, dan setumpuk condiments yang mengundang rasa penasaran. Cara makannya? Tiga tahap. Pertama, makan begitu saja, merasakan keaslian rasa ikan yang gurih. Kedua, tambahkan bumbu dan nori. Ketiga, tuangkan kaldu hangat ke atas nasi dan ikan, biarkan menyatu menjadi semacam ocha-zuke yang menghibur hati. Setiap suapan adalah kehangatan, seperti pelukan di malam dingin.
Rasanya enak dan renyah walau ukurannya sangat kecil. Tapi tidak apa dengan semangkuk nasi, sudah cukup mengisi perut.

Kami duduk lama di sana, menikmati setiap rasa. Lalu muncul masalah baru: taksi. Aplikasi pemesanan online? Lupakan. Di Yufuin, terutama malam-malam, itu bukan budaya mereka. Sopir taksi tidak menunggu di pinggir jalan seperti di kota besar. Untungnya, staf restoran yang ramah membantu meneleponkan taksi untuk kami. Sekitar pukul sembilan, kami kembali ke hotel. Jalanan begitu sepi, seperti kota yang memutuskan tidur lebih awal.
Setibanya di hotel kami mandi air hangat dan juga ada inden di lantai atas. Kebetulan sepi dan saya sempat mencoba sebentar.  Sekitar pukul 10.00malam, tiba waktunya untuk istirahat .

Tapi perut punya logikanya sendiri. Sekitar pukul setengah sebelas malam, lapar kembali datang. Mungkin karena makan malam tadi hanya seadanya , atau karena udara dingin yang mengundang selera.
Kami keluar lagi. Kota ini seperti berubah wujud: gelap, sunyi, hanya beberapa lampu Cafe dan resto yang tersisa. Dan di tengah keputusasaan, sebuah papan kecil menyala: restoran Korea.
Kami masuk. Aroma kimchi dan bilgogi panggang langsung menyerbu, hangat dan menggoda. Interiornya sederhana, tapi suasananya penuh kehidupan. Siapa sangka resto ini masih ramai ketika waktu menunjukan hampir tengah malam.Beberapa pengunjung duduk santai, mungkin turis Jepang, Korea atau Tiongkok.
Kami memesan bulgigi, dakgi, dan kimchijigae. Setelah asyik membakarnya sendiri, saat  suapan pertama menyentuh lidah, rasa lelapar pun  menguap. Pedas yang lembut, kaldu yang kaya, semuanya seperti teman lama yang datang membawa cerita.

Malam itu, kami makan dengan lahap. Dua kali makan malam dalam satu kota kecil, dan kami tertawa sendiri akan ironi ini. Begitulah perjalanan: selalu memberi kejutan, entah berupa gempa kecil yang menunda jadwal, danau yang asri serta tempat wisata  yang tutup, atau rasa lapar yang tak mau kompromi.

Ketika kembali ke hotel, waktu menunjukan hampir tengah malam. Jalanan  Yufuin hampir tak berdenyut. Hanya suara langkah kami dan desiran angin yang menemani. Kota ini memang bukan Tokyo, bukan Fukuoka, bukan Osaka yang tak pernah tidur. Yufuin adalah kota yang tahu cara istirahat. Ia memberi ruang bagi pendatang untuk melambat, untuk berhenti mengejar, untuk sekadar duduk di tepi danau meski senja sudah pergi.
Dan dari semua kejadian hari itu, saya belajar satu hal: perjalanan terbaik bukan yang sempurna, melainkan yang penuh cerita. Cerita tentang gempa yang sempat menghentikan perjalanan kereta api, pintu hotel yang hanya bisa dibuka dengan kode, tentang danau kirin yang meninabobokan diri, dan tentang restoran Korea yang jadi penyelamat ketua rasa  lapar menyapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun