Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Antrean Sate Koyor Rasa Klinik, Cerita dari Pasar Ngasem

3 September 2025   09:33 Diperbarui: 3 September 2025   09:33 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Setelah selesai mengamati cerita tentang gudeg, sejarah Patehan, dan juga kue apem di pendopo di sudut tenggara Pasar Ngasem, saya melanjutkan jalan-jalan ke bagian lain pasar ini sambil menikmati suasana pagi yang cerah.

Sate koyor: dokpri 
Sate koyor: dokpri 

Tidak jauh dari pendopo yang tadi, ada lagi sebuah pendopo yang tidak kalah ramainya. Di bawah atap bergaya Jawa dengan genteng merah yang berbaris rapi, tergantung sebuah spanduk ungu yang terbentang lebar. Kalimatnya tegas, hampir seperti titah: "Aman Pangannya, Higienis Pedagangnya, Bersih Pasarnya." Seolah mengingatkan siapa saja yang lewat bahwa pasar ini bukan sekadar ruang transaksi, tetapi juga wajah kota yang dijaga marwahnya.

Spanduk: 
Spanduk: 


Di bawah spanduk itu, orang-orang duduk santai, sebagian menyantap makanan dengan lahap. Saya sempat memperhatikan seorang pemuda menunduk, menyuapinya perlahan sambil sesekali menatap ponselnya---kontras dengan keramaian yang mengalir di belakangnya. Dari sisi kanan, warna merah muda mencolok menandai arah ke toilet, sebuah detail sederhana yang terasa akrab di mata pengunjung.

Di balik kerumunan, terdengar suara riuh para pedagang, aroma gorengan dan sate ikut terbawa angin. Pohon-pohon di tepian menebar bayangan tipis, menahan sinar matahari yang siang ini cukup terik. Saya sempat menoleh ke belakang, membayangkan kembali pendopo Patehan dengan kesunyian yang megah, lalu berbalik ke sini, ke pasar yang penuh denyut kehidupan. Dua dunia yang berbeda hanya terpaut beberapa langkah, namun keduanya sama-sama menyimpan cerita tentang Yogyakarta yang tak pernah berhenti bernapas.

Warung ayu Ita: dokpri 
Warung ayu Ita: dokpri 


Di sudut pasar yang riuh ini, aroma sate koyor mengepul dari tungku, memikat siapa saja yang lewat. Di bawah payung besar berwarna krem, sebuah papan kayu dengan tulisan "Sate Koyor Yu Ira" menggantung anggun, seolah menjadi magnet bagi para pengunjung. Di sekitarnya, orang-orang berdiri berderet rapi, antre untuk membeli sate. Ada yang sibuk menatap layar ponsel, ada pula yang berbincang pelan sambil sesekali melirik ke dalam warung, berharap giliran mereka segera tiba. Warung ini bukan sekadar tempat makan, tapi juga potret kecil tentang bagaimana sabar dan rasa penasaran berpadu dalam wujud sebuah hidangan legendaris.

Tak jauh dari antrean, seorang bapak duduk jongkok, sibuk mencuci peralatan di dekat ember biru besar. Bajunya yang basah terkena cipratan air tak mengurangi semangatnya. Di atasnya, bangunan dengan atap genteng merah dan anyaman rumbia di bagian sisi menegaskan identitas pasar yang masih memegang tradisi. Ornamen sederhana, lampu-lampu kecil, dan spanduk yang memuat liputan televisi menjadi penanda bahwa popularitas sate ini bukan isapan jempol. Justru, semakin terkenal, semakin panjang antreannya.


Melihat antrean yang panjang mengular, dengan penasaran saya bertanya kepada salah seorang perempuan muda yang sedang antre.
"Ini antrean beli sate atau apa?"
Ternyata kita harus mengantre bukan hanya untuk sate, tetapi juga untuk membeli makanan lain seperti nasi dan kudapan angkringan di warung ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun