Di halaman ada beberapa pohon mangga dengan buah yang dibungkus plastik putih---tradisi lokal untuk melindungi buah dari hama, yang sekaligus menambah warna unik kehidupan sehari-hari. Wah rupanya sedang musim mangga!
Di samping itu juga terdapat motor dan mobil yang terparkir di dalam halaman, menandakan aktivitas warga yang masih kental di kawasan ini.
Saya terus berjalan dan memasuki Jalan Nagan Kidul. Ada sebuah rumah bergaya kolonial Jawa, lengkap dengan tiang-tiang besar di teras, jendela kayu klasik, dan atap genteng tua. Rumah paviliunnya tampak bertingkat dua. Ada papan "Dijual SHM, lengkap dengan luas tanah 499 m2 dan luas bangunan 320m2" di pagar besi, menandakan zaman terus bergerak dan properti lama pun akhirnya akan berpindah tangan.
Sebelum sampai di pojok beteng kulon, saya kembali melihat sebuah bangunan tua yang kali ini cukup terawat. Bangunan ini sekilas merupakan perpaduan antara model Jawa dan Hindia yang pernah populer di awal abad ke duapuluh . Yang unik adalah ada papan nama bertuliskan : House of Fudgybro. Pagar dicat krem, ada beberapa pohon besar di halaman dan ada juga yang berbunga warna merah tua.
Di sepanjang jalur ini, saya mendapati rumah-rumah lama dengan halaman luas, berpagar tinggi, sebagian masih mempertahankan arsitektur Jawa klasik dengan pendopo dan joglo. Ada yang tampak terawat rapi, ada pula yang seolah menua bersama waktu, cat mengelupas tapi justru menambah kesan autentik
Perjalanan berlanjut hingga pojok benteng. Dari sini saya belok kanan ke Nagan Kulon, menyusuri jalan yang lebih sempit. Sesekali terdengar suara gamelan dari dalam rumah, entah latihan karawitan atau hanya alunan dari radio yang memutar gending Jawa. Langkah kaki terasa seperti menyusuri lorong waktu.
Kemudian saya belok kanan lagi ke Nagan Lor, lalu kiri ke Nogosari. Jalan ini mengarah ke kawasan Kadipaten Kidul, wilayah yang dulu menjadi tempat tinggal para pejabat Kraton. Nama-nama jalan ini bukan sekadar penanda, tapi juga potongan sejarah yang masih hidup dalam denyut kota.
Akhirnya saya sampai di Pasar Ngasem, pasar tradisional yang terkenal sejak dulu sebagai pasar burung dan sepeda bekas. Saya bahkan ingat pernah membeli sepeda seharga delapan ribu rupiah pada pertengahan tahun 1970-an.
Di depan pasar , saya mampir sebentar ke kios pastel Ngasem, jajanan gurih dengan isian kentang, wortel, dan suwiran ayam.
Di pasar Ngasem tentu saja tidak lupa mampir daj menyeruput wedang hangat Sendang Ayu, merasakan perpaduan rasa manis dan hangat yang cocok setelah perjalanan panjang menyusuri tembok Keraton. Seperti biasa saya juga mampir membeli bakpia dan pepaya. Di pasar yang selalu ramai ini ada juga serombongan turis dari Perancis yang tampak antusias melihat barang yang dijual di sini.
Jalan jalan pagi ini sangat menyenangkan dan sejenak bisa melupakan kemelut yang terjadi di ibukota.
Perjalanan ini mungkin hanya beberapa kilometer, tapi rasanya seperti membaca buku sejarah yang terbuka lebar. Tembok-tembok putih itu bukan sekadar dinding, melainkan saksi bisu perjalanan waktu, mitos, dan budaya yang tetap lestari di tengah arus modernisasi.
Kalau kamu sudah kasih foto, saya bisa tambahkan deskripsi visual, warna tembok, suasana jalan, detail rumah kuno, kios pastel, sampai wedang. Mau saya buat lebih panjang (2000 kata) dengan gaya naratif reflektif seperti tulisan-tulisanmu yang sebelumnya? Atau tetap ringkas tapi detail seperti ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI