Pagi itu, langit Yogya mendung, Se mendung hati kebanyakan rakyat Indonesia yang sedang berduka. Seperti biasa, saya memulai perjalanan dari Alun-Alun Kidul, menikmati sejenak Sasana Hinggil Dwiabad serta ruang luas yang sejak dulu menjadi salah satu jantung aktivitas warga Yogyakarta. Dua beringin kembar berdiri kokoh, memancarkan aura mistis sekaligus keanggunan. Banyak yang percaya, berjalan lurus melewati sela keduanya dengan mata tertutup adalah ujian konsentrasi dan ketulusan hati. Entah mitos atau sekadar permainan, tapi selalu ada daya tarik yang membuat orang ingin mencoba. Entah pagi itu belum ada yang menyewakan saputangan untuk bermain Masangin ini.
Dari alun-alun ini, saya mengarahkan langkah ke arah selatan, dan tiba di Plengkung Gading yang disebut juga Plengkung Nirbaya. Biasanya saya melewati Plengkung ini kalau menuju ke arah selatan, rute favorit saya adalah ke Panggung Krapyak melewati jalan DI Panjaitan dan Jalan KH Ali Maksum.
Namun sejak beberapa bulan lalu akses Plengkung gading sudah ditutup baik untuk kendaraan maupun pejalan kaki. Ini membuat lokasi sekitar Alun-Alum Kidul sudah tidak terjangkau angkutan umum seperti TransJogja lagi.
Sekarang pelengkung ini sedang dalam tahap konservasi dan ditutupi oleh pagar proyek dengan tulisan tentang "Konservasi dan Penyelamatan Struktur Plengkung Nirbaya". Sejenak saya mengambil gambar Plengkung gading di bawah serta awan mendung Yogya yang menambah nuansa dramatis.
Plengkung Nirbaya merupakan salah satu gerbang benteng keraton Yogyakarta yang melegenda. Plengkung ini kini ditutup, tapi dulu dikenal sebagai jalur arak-arakan ketika Sultan wafat, menuju pemakaman raja-raja di Imogiri. Nama "Nirbaya" sendiri berarti bebas dari bahaya, meski justru yang lewat sini adalah rombongan duka. Mitosnya, sultan dilarang melintas di bawah Plengkung ini karena konon hanya untuk jenazah raja. Selain itu masyarakat sekitar juga memiliki mitos bahwa rombong jenazah serta pengantin juga tidak baik melewati Plengkung ini. Tapi kalau sekarang sudah ditutup, tentunya tidak akan ada yang bisa lewat lagi.
Karena tidak bisa tembus ke selatan dan sudah pernah jalan ke arah timur, kali ini saya belok ke kanan, ke arah Jalan Patehan Kidul menyusuri tembok Baluwarti Keraton yang belum lama selesai direstorasi. Tembok putih menjulang di sisi kiri, berdiri gagah dengan kaki-kaki miring penahan, sementara di bagian bawahnya hamparan rumput hijau rapi dibatasi kanstin hitam-putih, kontras dengan jalan aspal sepi yang sedikit retak dan deretan rumah-ruangan berhias panji-panji merah putih di sebelah kanan.
Tembok baluwarti ini bukan sekadar dinding, melainkan benteng sejarah yang menyimpan cerita sejak era Sultan Hamengkubuwono pertama membangun Kraton pada abad ke-18. Sempat tertutup bangunan dan rumah-rumah selama ratusan tahun dan baru sekarang berhasil dikembalikan seperti bentuk aslinya.
Jalan Patehan Kidul merupakan Kawasan yang tenang, sesekali ada sepeda motor yang melintas. Bahkan tidak ada yang menemani sya berjalan kaki.
Yang menarik, ada sebuah rumah tua dengan dinding bata dan atap genteng khas Jawa yang memberi kesan autentik. Rumah ini memiliki pagar besi dengan tiang tembok warna pudar, mencerminkan usia dan perjalanan waktu.