Ada kebanggaan tersendiri melihat anak-anak SMP bisa tampil begitu rapi, kompak, dan penuh energi. Mereka bukan sekadar penghibur, tapi juga pengingat bahwa generasi muda punya tempat penting dalam menjaga semangat kemerdekaan.
Di sisi lain lapangan, deretan stand UMKM meramaikan suasana. Ada es pisang ijo yang segar, palubutung yang manis, jalangkote dengan isi gurih, berbagai jenis pepes harum dari bungkusan daun pisang, donat lembut yang ditaburi gula, hingga siomay hangat dengan kuah kacang kental. Aroma makanan bercampur dengan riuhnya acara, membuat suasana semakin hidup.
Orang tua membeli camilan, anak-anak mengunyah sambil menonton pertunjukan, sementara pedagang tersenyum puas karena dagangannya laris. UMKM kecil ini seakan menjadi bukti bahwa kemerdekaan juga berarti kesempatan untuk hidup mandiri dan berkarya.
Lalu tibalah saat yang ditunggu: pengumuman pemenang fashion show. Dari juara harapan hingga juara pertama, nama-nama dipanggil satu per satu.
Setiap kali nama disebut, tepuk tangan menggema. Ada yang melompat kegirangan, ada pula yang hanya tersenyum malu sambil menerima hadiah. Namun, lebih dari sekadar siapa yang juara, momen itu menunjukkan bahwa setiap anak yang berani tampil sudah menjadi pemenang. Juri yang menilai pun terlihat kesulitan, karena semua peserta punya keunikan masing-masing.
Tak ketinggalan, pengumuman istimewa datang dari Pak Ronald Tobing, sekretaris DKM Al Muhsinin Taman Cikas. Dengan suara mantap, beliau menyampaikan kabar gembira: kolam renang Taman Cikas gratis untuk warga hari ini. Spontan tepuk tangan kembali bergemuruh. Anak-anak langsung bersorak, beberapa bahkan sudah berlari mendekati kolam renang, seolah takut kabar itu hanya mimpi. Orang tua pun ikut senang, karena hadiah terbaik bagi anak-anak di hari kemerdekaan adalah kesempatan untuk bermain air sepuasnya tanpa biaya.
Sejak pagi hingga menjelang siang, Taman Cikas menjadi saksi bagaimana kemerdekaan dirayakan. Bukan dengan pidato panjang, bukan dengan pesta mewah di istana, melainkan dengan karnaval sederhana, tawa anak-anak, drum band remaja, jajanan UMKM, dan kolam renang gratis. Di sinilah letak keindahannya: kemerdekaan hadir bukan hanya di pusat kekuasaan, tapi juga di halaman rumah, di jalan-jalan kecil, di wajah-wajah yang tulus bergembira.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka bukan sekadar angka. Ia adalah perjalanan panjang penuh perjuangan, darah, dan air mata. Namun di Taman Cikas pagi itu, kemerdekaan terasa ringan, hangat, dan penuh canda. Sebuah pengingat bahwa merdeka tidak selalu harus dirayakan dengan megah. Kadang, cukup dengan berjalan kaki bersama tetangga, melihat anak-anak berlenggak-lenggok malu-malu, membeli siomay di lapak UMKM, lalu menutup hari dengan berenang gratis.
Ketika drum band membangunkan saya dari rumah pagi itu, saya tidak menyangka akan menemukan pengalaman yang begitu membekas. Suara drum bukan sekadar musik, tapi panggilan untuk ikut serta merayakan kemerdekaan dengan cara yang paling manusiawi: berkumpul, berbagi, dan bergembira. Mungkin inilah arti kemerdekaan di usia 80 tahun: bukan lagi soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana rakyat yang jauh dari lingkar kekuasaan istana tetap punya ruang untuk merasa bahagia.