Sebelum meninggalkan rumah ini, saya sempat membaca empat tulisan aksara Hanzi yang ada di balik daun pintu. Tulisannya adalah (F Hi) "Samudra Kebahagiaan" atau "Laut Keberkahan" dan (Shu Shn) "Gunung Panjang Umur" atau "Gunung Kehidupan".
Kedua frasa ini adalah ungkapan klasik Tionghoa yang sering ditemukan di bangunan bersejarah, kelenteng, dan rumah keluarga besar bangsawan atau saudagar, terutama untuk menyimbolkan harapan akan rezeki dan berkah yang luas seperti samudra. Kata sering diartikan sebagai "berkat", "kebahagiaan", atau "nasib baik". Dan juga Umur panjang yang kokoh dan abadi seperti gunung.
Keduanya bila dipasangkan menyampaikan pesan tradisional: semoga hidupmu penuh berkah dan panjang umur. Kami berdelapan berjalan perlahan meninggalkan Candra Naya.
Di sekeliling bangunan yang tesisa, berdiri kokoh gedung Novotel dan apartemen Green Central City---properti modern yang sebenarnya dahulu menjadi ancaman eksistensi Candra Naya.
Ada masa ketika rumah tua ini hampir digusur total demi pembangunan superblok. Tapi tekanan publik, kampanye pelestarian, dan kekuatan media sosial membuat pengembang akhirnya setuju untuk "menyelamatkan" bangunan ini dengan cara: menjadikannya bagian dari fasilitas umum kompleks komersial tersebut.
Kami duduk di bangku batu, mengamati kontras yang begitu mencolok tembok tua dengan lumut di sisinya, berdampingan dengan kaca bening dan baja dari gedung modern. Kami bertanya dalam hati, apakah ini bentuk penyelamatan, atau sekadar kompromi? Apakah ini pelestarian atau pemanfaatan?
"Mungkin ini cara terbaik yang bisa kita harapkan dari kota seperti Jakarta?
Sepuluh menit kemudian, kami sudah sampai di gerbang Glodok Pancoran China Town dan siap untuk menjelajah lebih lanjut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI