Dari Khorog kubawa angin Pamir,
Menemani langkah di negeri sakura.
Tertinggal peci di bangku yang lirih,
Namun kenangan justru makin bicara.
Pukul delapan pagi, saya keluar dari lobi Crowne Plaza Kumamoto. Udara kota terasa sejuk, meski matahari mulai memecah kabut tipis yang menyelimuti langit. Saya hanya memiliki waktu setengah hari sebelum melanjutkan perjalanan ke Yufuin melalui Fukuoka, dan tujuan utama pagi itu sudah pasti: mengunjungi Suizenji Jojuen, taman bergaya Jepang yang berusia ratusan tahun dan dikenal karena keindahan lanskap serta jejak sejarahnya.
Dengan tiket trem 24 jam yang dibeli lewat aplikasi, saya menaiki trem biru krem khas kota Kumamoto. Interior trem tampak bersih, dengan kursi kayu dan jendela besar yang memamerkan pemandangan kota yang perlahan bergerak. Setelah sekitar 30 menit, saya turun di halte Suizenji Park, kemudian berjalan kaki menyusuri jalan kecil menuju taman.
Suasana masih tenang. ada sebuah rumah tua bertingkat dua dengan halaman yang luas. Rumah ini terbuat dari kayu dan terasa bergaya barat. Saya melewati area parkir bertingkat yang tampaknya memang umum di kota-kota di Jepang.
Mengikuti petunjuk di gadget, Saya sempat mencoba masuk melalui pintu samping taman, tetapi ternyata pintu itu terkunci. Saya pun memutar arah mengikuti jalur lain kali ini benar dan menuju ke pintu utama taman.
Di ujung jalan, saya disambut gerbang tori dengan warna kuning lembut. Di kanan-kirinya berdiri dua patung singa penjaga atau komainu---penjaga spiritual gerbang kuil. Sebelah kiri tori, terdapat toko suvenir dengan tulisan "Suizenji" dalam tiga aksara: Kanji, Latin, dan Hangul. Bendera kecil bertuliskan "Kumamoto no omiyage" berkibar pelan. Suasana sekitar terasa bersahabat.
Setelah masuk ke dalam area taman, sebuah papan bertuliskan "Welcome to Joju-en" menyambut saya, di bawahnya ada tulisan "Suizenji Jojuen is a feudal lord's garden completed in 1671. It is also called suizenji Park."
Saya membeli tiket masuk seharga 400 yen dan melangkah masuk ke taman. Di dekat kolam ada papan informasi berupa peta peta lokasi berwarna pastel yang menjelaskan denah taman. Dari peta tersebut saya mengetahui bahwa taman ini tidak hanya terdiri dari lanskap dan kolam, tapi juga ada Danau Ezu, Kebun Botani dan Kebun Binatang Kumamoto, serta Rumah LL Janes, bekas kediaman seorang misionaris asal Amerika. Rasa ingin tahu saya semakin tumbuh.
Di kejauhan ada dua jembatan batu gaya Meiji yang melintasi aliran air jernih. Gerbang ini seolah menjadi pintu masuk tak resmi menuju dunia dalam taman. Ikan koi warna merah putih, hitam, dan kuning kemasan berenang lambat di permukaan, menciptakan kesan damai yang langsung terasa begitu kaki memasuki jalan setapak di tepi kolam.
Ketika membeli tiket, saya mendapat selembar leaflet berisi sekilas informasi mengenai taman ini.
Taman ini mulai dibangun oleh Hosokawa Tadatoshi pada 1636 sebagai tempat upacara minum teh. Cucu beliau, Hosokawa Tsunatoshi, melanjutkan pembangunan dan memperluas taman menjadi lanskap bergaya stroll garden khas zaman Edo. Pada 1877, taman sempat hancur akibat Pemberontakan Satsuma yang melanda Kumamoto, tetapi kemudian dibangun kembali dan pada 1929 ditetapkan sebagai Situs Bersejarah Nasional.
Di depan saya terbentang situ atau danau besar yang cantik , dihiasi jembatan merah yang melengkung indah, pulau kecil dengan pohon pinus dan tanaman azalea yang rapi, serta ikan koi yang berenang seolah tahu bahwa dirinya adalah bagian dari seni taman ini. Pemandangan ini menggambarkan miniatur jalur Tokaido, rute legendaris yang menghubungkan Kyoto dan Edo, lengkap dengan representasi Gunung Fuji berupa bukit kecil atau tsukiyama yang menjadi titik fokus taman.
Saya melangkah menuju bukit itu. Jalur setapak dibentuk dari batu, disusun sedemikian rupa sehingga memberikan kesan seperti berjalan di rute Tokaido versi mini. Setiap langkah membawa saya pada keheningan yang mendalam, serasa menyusuri sejarah Jepang dalam versi lanskap.
Menuruni bukit, saya tiba di sebuah bangunan berarsitektur tradisional Jepang dengan atap jerami: KokinDenjunoMa, rumah teh yang pada awalnya berada di Istana Kekaisaran Kyoto, kemudian dipindahkan ke taman ini pada tahun 1912. Di sinilah konon Hosokawa Yusai (Fujitaka), seorang bangsawan sekaligus ahli sastra dan ayah dari Tadatoshi, mengajarkan puisi klasik Kokin Wakashu kepada Pangeran Toshihito. Ruangan ini terasa sakral. Saya duduk sejenak di dalamnya, menikmati secangkir teh matcha dan sepotong wagashi yang disajikan dengan penuh tata krama. Aroma teh hijau, suara air, dan pemandangan kolam menciptakan rasa damai yang sulit dilukiskan.
Di sekitar rumah teh, berdiri patung perunggu Hosokawa Tadatoshi dan kakeknya, Lord Fujitaka. Keduanya berpakaian bangsawan gaya Heian, berdiri tegak dalam pose tenang.
Monumen ini tidak hanya menjadi penghormatan terhadap para pendiri taman, tetapi juga menjadi simbol kesinambungan budaya yang tetap terpelihara hingga kini.
Saya melanjutkan langkah ke arah utara taman dan tiba di sebuah kuil kecil bernama Izumi Shrine. Di depannya berdiri torii kedua, lebih tinggi dan berwarna kayu alami. Di sisi kiri terdapat temizuya, tempat ritual penyucian dengan air dari mata air Gunung Aso.
Saya membasuh kedua tangan dan mulut, lalu menyesap seteguk air sejuk yang dipercaya membawa umur panjang. Suasana sekitar terasa sangat tenang, hanya terdengar angin menyentuh daun. Salah satu ciri khas jinja atau kuli ini adalah deretan tori kayu yang dicat warna merah menyala menyambut bagaikan lorong waktu.
Tak jauh dari sana, saya melihat sebuah batu besar dengan tulisan puitis---Monumen Puisi Fukans, yang didirikan sekitar tahun 1925 untuk mengenang para penyair yang menggambarkan keindahan Kumamoto dalam bait-bait klasik mereka. Saya berdiri sejenak di depannya, mencoba memahami makna dalam tiap karakter yang terukir.
Setelah berjalan memutar kembali ke sisi selatan taman, saya melewati area luas bernama Ikoi no Hiroba---tempat istirahat yang teduh, dengan bangku kayu di bawah pohon besar. Di sini saya duduk, melepas lelah, bahkan sempat tertidur ringan selama tujuh menit. Hembusan angin membawa aroma rumput basah dan udara pagi yang segar.
Saat terbangun, saya hendak melanjutkan langkah, namun mendadak menyadari sesuatu: peci merah hitam dari Khorog, kenang-kenangan dari perjalanan sebelumnya ke Tajikistan, tidak lagi berada di kepala saya. Saya mencoba mengingat kapan terakhir memakainya, lalu menelusuri kembali jalur yang tadi saya lewati.
Di bangku batu dekat kolam, tepat di bawah pohon pinus yang teduh, topi itu tergeletak---utuh, menunggu saya kembali. Saya tersenyum lega. Di taman penuh ketenangan ini, bahkan peci hitam pun terasa enggan untuk pergi menghilang. Kenang-kenangan dari Asia Tengah masih aman melindungi kepala dari sengatan matahari Kyushu.
Saya melangkah perlahan menuju area terbuka di bagian ujung taman. Di sana berdiri panggung Noh klasik---panggung kayu beratap, dikelilingi taman yang rapi.
Panggung ini digunakan untuk pertunjukan Takigi Noh, yaitu teater Noh yang dimainkan malam hari dengan pencahayaan obor. Walau tidak sedang ada pertunjukan, bayangan yang tercipta dari atap panggung menciptakan suasana magis tersendiri. Noh bukan hanya seni panggung; ia adalah meditasi dalam gerakan lambat dan suara seruling bambu yang menembus jiwa.
Matahari kian menyengat ketika saya memutuskan untuk keluar dari taman. Sebelum benar-benar pergi, saya membeli Ikinari dango, kue kukus dari tepung terigu, diisi dengan potongan ubi manis dan pasta kacang merah (anko). Teksturnya lembut, manis alami, dan sangat populer sebagai oleh-oleh khas Kumamoto.
Sebutir dango bertabur dengan isi anko terasa hangat dan lezat di mulut. Rasanya seperti penutup yang sempurna dari sebuah pagi yang tenang.
Dalam perjalanan pulang, saya melihat toko yang menyewakan kimono. Wah asyik juga kalau sempat bisa menyewa sambil jalan jalan di Suizenji. Saya tidak tahu apakah ada untuk lelaki juga, atau mungkin lebih sederhana menyewa yukata?
Saya berjalan kaki menyusuri jalan yang tadi saya lalui, melewati rumah-rumah tenang dan parkiran bertingkat yang kini terasa lebih akrab. Trem membawa saya kembali ke Crowne Plaza Kumamoto.
Setelah check-out, saya melanjutkan perjalanan ke stasiun untuk mengejar kereta shinkansen ke Hakata yang kemudian dilanjut dengan Yufuin no Mori ke Yufuin.
Dalam kereta yang melaju menembus pegunungan Kyushu, saya melihat kembali bayangan taman yang baru saya kunjungi: air yang jernih, jembatan merah, pohon pinus, teh matcha, dan peci Pamir yang nyaris tertinggal . Semua menyatu menjadi bagian dari kenangan yang akan terus saya bawa---dalam diam, dalam rasa.
Selamat tinggal Kumamoto!
Kalau mau lihat video bisa klik di sini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI