Saya melangkah menuju bukit itu. Jalur setapak dibentuk dari batu, disusun sedemikian rupa sehingga memberikan kesan seperti berjalan di rute Tokaido versi mini. Setiap langkah membawa saya pada keheningan yang mendalam, serasa menyusuri sejarah Jepang dalam versi lanskap.
Menuruni bukit, saya tiba di sebuah bangunan berarsitektur tradisional Jepang dengan atap jerami: KokinDenjunoMa, rumah teh yang pada awalnya berada di Istana Kekaisaran Kyoto, kemudian dipindahkan ke taman ini pada tahun 1912. Di sinilah konon Hosokawa Yusai (Fujitaka), seorang bangsawan sekaligus ahli sastra dan ayah dari Tadatoshi, mengajarkan puisi klasik Kokin Wakashu kepada Pangeran Toshihito. Ruangan ini terasa sakral. Saya duduk sejenak di dalamnya, menikmati secangkir teh matcha dan sepotong wagashi yang disajikan dengan penuh tata krama. Aroma teh hijau, suara air, dan pemandangan kolam menciptakan rasa damai yang sulit dilukiskan.
Di sekitar rumah teh, berdiri patung perunggu Hosokawa Tadatoshi dan kakeknya, Lord Fujitaka. Keduanya berpakaian bangsawan gaya Heian, berdiri tegak dalam pose tenang.
Monumen ini tidak hanya menjadi penghormatan terhadap para pendiri taman, tetapi juga menjadi simbol kesinambungan budaya yang tetap terpelihara hingga kini.
Saya melanjutkan langkah ke arah utara taman dan tiba di sebuah kuil kecil bernama Izumi Shrine. Di depannya berdiri torii kedua, lebih tinggi dan berwarna kayu alami. Di sisi kiri terdapat temizuya, tempat ritual penyucian dengan air dari mata air Gunung Aso.
Saya membasuh kedua tangan dan mulut, lalu menyesap seteguk air sejuk yang dipercaya membawa umur panjang. Suasana sekitar terasa sangat tenang, hanya terdengar angin menyentuh daun. Salah satu ciri khas jinja atau kuli ini adalah deretan tori kayu yang dicat warna merah menyala menyambut bagaikan lorong waktu.
Tak jauh dari sana, saya melihat sebuah batu besar dengan tulisan puitis---Monumen Puisi Fukans, yang didirikan sekitar tahun 1925 untuk mengenang para penyair yang menggambarkan keindahan Kumamoto dalam bait-bait klasik mereka. Saya berdiri sejenak di depannya, mencoba memahami makna dalam tiap karakter yang terukir.
Setelah berjalan memutar kembali ke sisi selatan taman, saya melewati area luas bernama Ikoi no Hiroba---tempat istirahat yang teduh, dengan bangku kayu di bawah pohon besar. Di sini saya duduk, melepas lelah, bahkan sempat tertidur ringan selama tujuh menit. Hembusan angin membawa aroma rumput basah dan udara pagi yang segar.
Saat terbangun, saya hendak melanjutkan langkah, namun mendadak menyadari sesuatu: peci merah hitam dari Khorog, kenang-kenangan dari perjalanan sebelumnya ke Tajikistan, tidak lagi berada di kepala saya. Saya mencoba mengingat kapan terakhir memakainya, lalu menelusuri kembali jalur yang tadi saya lewati.
Di bangku batu dekat kolam, tepat di bawah pohon pinus yang teduh, topi itu tergeletak---utuh, menunggu saya kembali. Saya tersenyum lega. Di taman penuh ketenangan ini, bahkan peci hitam pun terasa enggan untuk pergi menghilang. Kenang-kenangan dari Asia Tengah masih aman melindungi kepala dari sengatan matahari Kyushu.