"Satu untuk semua, semua untuk satu," --- bukan hanya semboyan Prancis. Di Lasem, semboyan itu pernah hidup dalam satu perjuangan yang ditebus dengan darah dan nyawa.
Pukul dua lewat empat puluh tujuh menit siang, mobil Elf kami tiba di halaman Klenteng Cu An Kiong. Langit Lasem merona biru laut, dihiasi awan putih yang bertumpuk-tumpuk seperti lukisan yang tenang namun dalam. Hanya butuh kurang dari dua menit untuk mencapai tempat ini dari Lawang Ombo, tempat kami sebelumnya menapak jejak sejarah kelam Lasem. Maklum keduanya bertetangga dekat.
"Ayo kita turun di sini," kata Mbak Ira sambil membuka pintu mobil. Rombongan Wisata Kreatif Jakarta pun perlahan melangkah keluar, bergerak menuju kelenteng yang menampilkan perpaduan warna merah dan merah muda. Sepasang patung singa gaya Eropa berdiri gagah di gerbangnya, seolah mengundang kami masuk ke dalam ruang waktu dan dimensi yang lain.
Namun, Mas Agik, pemandu kami yang penuh cerita, tidak langsung membawa kami masuk ke kelenteng. Ia justru menunjuk ke halaman samping dan mengajak kami mampir ke sebuah titik yang tampak tenang tapi sarat makna.
Di sanalah sebuah monumen berdiri. Saya melangkah mendekat dan langsung membaca prasasti dari marmer hitam yang diukir dengan huruf berwarna emas. Judulnya mencolok dan menggugah:
Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC (1740--1743)
Prasasti yang Menyentak Jiwa
Prasasti itu mengisahkan pembantaian besar-besaran sekitar 10.000 warga Tionghoa di Batavia pada Oktober 1740. Tuduhan yang dilayangkan terhadap mereka hanyalah kedok---pelanggaran aturan imigrasi dan perpajakan---sementara tujuan sebenarnya adalah penjarahan dan pemerasan. Dalam kekacauan itu, seorang bernama Souw Phan Ciang, alias Khe Panjiang, membentuk laskar rakyat untuk melawan VOC. Perlawanan ini meluas dari Batavia hingga Cirebon, menyusuri tanah-tanah kekuasaan Mataram yang saat itu berpusat di Kartasura.