Tapi sejarah bukan tentang "jika". Ia adalah tentang yang telah terjadi: jejak kaki di tanah, darah yang menodai, dan batu-batu yang mendengar teriakan---yang kini tak terdengar.
Ziarah Sunyi dan Harapan yang Tak Mati
Menjelang pergi, saya kembali menoleh. Deretan patung itu seperti sahabat bisu yang menjaga rahasia masa lalu. Lasem bukan sekadar catatan kaki dalam sejarah. Ia adalah halaman yang jarang dibuka di buku-buku pelajaran. Di sinilah orang Tionghoa dan Jawa pernah menyatu dalam hal yang paling luhur: perjuangan.
Kami meninggalkan monumen itu dalam hening. Suara Mas Agik masih terngiang di telinga, begitu pula kisah-kisah yang mengendap di hati. Langkah-langkah para leluhur itu kini hanya bisa kita ikuti dari patung dan batu. Tapi saya percaya: selama masih ada yang menceritakan, kisah mereka belum benar-benar mati.
Penutup: Mengapa Kita Harus Ingat
Monumen Perjuangan Lasem bukan sekadar tugu sejarah. Ia adalah pengingat bahwa dulu, batas etnis bisa dilampaui demi sebuah perjuangan. Bahwa ketidakadilan bisa menyatukan mereka yang sekarang sering dianggap berbeda. Dan bahwa terkadang, pengkhianatan tidak datang dari luar, tapi dari dalam benteng sendiri.
Saya menulis ini untuk merawat ingatan. Mungkin hanya satu suara dari sekian banyak. Tapi saya yakin: jika cukup banyak dari kita menulis, berkunjung, dan mengenang, maka Lasem tidak akan pernah benar-benar hilang dari peta perjuangan bangsa.
Setelah menyerap kisah heroik "Three Musketeers dari Lasem"---Raden Panji Margono, Oey Ing Kiat, dan Tan Kee Wie---kami pun bersiap menjelajah klenteng Cu An Kiong. Lasem masih menyimpan banyak cerita yang penuh kejutan yang nikmat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI